Part 18

10.7K 822 45
                                    

Rasa tidak percaya masih bertakhta. Apalagi kini cinta sudah menebar dalam dada. Anne menepis pikiran negatif untuk sang suami, tetapi fakta membuatnya kembali diam seribu bahasa.

"Tidak apa. Aku tidak apa."

Sugesti itu hanya sekadar omong kosong. Dada Anne sesak menahan sakit. Rasa asing yang entah dari antah berantah mana datang bertandang.

Semalaman suntuk, mata wanita itu tak bisa terpejam. Semalaman pula, ia mencari cara untuk menyambung hidup. Harus bekerja apakah dia?

Dulu, tiap detiknya selalu berisi pundi-pundi rupiah yang bahkan tidak bisa dihitung jari. Sekarang, roda berputar. Anne mencicipi apa artian kerja keras. Dua kali ia juga belajar apa artian ikhlas.

Pernikahan yang kandas? Anne bahkan tak bisa mengingat bagaimana detilnya. Bagaimana ekspresi Bram ketika melayangkan talak. Biadabnya, Anne tak bisa mengenyahkan segala hal yang telah dilalui mereka berdua. Bersama.

Setiap tatapan mata, senyum merekah, raut khawatir, dan apa pun bentuk kenangan itu, selalu mengalir dalam alunan keheningan. Tak ada umpatan yang bisa mengenyahkan semua. Karena apa? Anne sudah lelah. Lelah sekali dengan pengembaraan ini. Ia berharap Bram-lah tempat dirinya berpulang. Dan harapan itu terpupus seiring dengan bayang kata talak yang berkumandang.

---HISNANAD---

Kosong. Jika mungkin dulu kerap Anne temui sebuah selimut di atas punggungnya selepas lelap, kini tak ada apa-apa. Dingin garang menyerang. Membelah malam tanpa ampun dan juga membawa kenang.

Tujuh hari sudah berlalu. Namun, Anne masih statis. Ia tak bergerak dari posisi semula. Belum ada rencana untuk mencari kerja, pun belum ada kejelasan tentang pernikahannya.

Rasa sesak yang kerap Anne rasa, hanya bisa ia tahan. Dan sekuat-kuatnya wanita dalam menahan luka, air mata selalu menjadi penyalurannya. Apa Anne sudah menjadi wanita lemah? Mungkin. Ia tidak tahu, tetapi rasa yang muncul dari hati tersebut tak bisa dienyahkan. Pengabaian tak bisa dilakukan. Ah, apa Bram merasai yang sama?

Di sisi lain, Bram memejamkan mata. Di layar ponselnya tersimpan rapi foto sang istri. Istri? Apa masih pantas Anne ia panggil istri, jika kata talak terucap tempo hari?

Bram memijat pelipis. Rasa sakit di badan selepas dipukuli tak berarti daripada rasa sakit melepas orang yang dicintai. Cinta? Rasa itu tidak bisa dijabarkan lewat kata.

Bagaimana datangnya pun Bram tak tahu. Ia hanya merasa kini ada rindu. Ada sakit tak kasat mata. Ada rasa ingin selalu bersama. Akhirnya, ia lelah. Ia ingin mendekap Anneke. Menyalurkan segala gundah, menghilangkan segala rasa tak berarah. Namun ... semua berbeda. Semua harus begini!

"Bram!"

Tatapan tajam Bram beralih haluan. Sesegera mungkin ponselnya dimatikan. Ia melihat ke arah suara yang tadi sempat terdengar.

"Proyek kita hampir berhasil. Kamu harus meninjaunya."

Anggukan itu berakhir dengan pejaman mata. Bram patuh bukan berarti tunduk. Ia melakukan tetapi bukan berarti pesuruh ulung yang tak punya akal. Ingatannya melanglang buana.

Selepas kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya serta ibunya, ia mengalami kehilangan sesuatu yang berharga. Ia kehilangan suaranya. Tidak. Sama sekali tidak terbesit kerumitan akan menghampirinya pada masa kecil itu.

Ia sudah paham bahwa kehilangan itu menyakitkan, tetapi membenci juga dendam bukan ajaran yang ia terima. Bram kecil hanya berusaha menerima bahwa sekarang ia lebih istimewa. Meski kenyataannya makian sering mampir di gendang telinganya.

Mentalnya mungkin cukup kuat, tetapi saat itu fisiknya masih rapuh. Bram kecil dididik dengan keras. Pukulan selalu menjadi hadiah terbaik atas apa yang tidak ia kerjakan dengan apik. Ia terkekang dengan kesempurnaan.

Petualang Ranjang (18+)  (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang