Part 6

24.2K 1.2K 16
                                    

Satu kali hentak pintu kamar Bram dibanting Anne. Suara berdebum menggema seiring langkah lebar wanita itu yang menghindar. Sebelum pintu kamarnya berhasil terkunci, Bram menghalau pintu tersebut.

"Pergi!" Anne berujar dingin sedingin suasana hatinya.

"B—bu saya—"

"Apa peduliku?" potong Anne saat kalimat pembelaan Uci mulai terdengar.

"Pergi!" teriak wanita itu garang.

Bram tidak kehilangan akal. Lelaki itu masuk ke kamar Anne dan menutup pintunya. Sepasang suami istri tersebut saling tatap dengan napas memburu.

"Pergi atau aku nekat, Bram!"

Gelengan Bram menaikkan kadar emosi Anne. Tanpa aba-aba wanita itu membanting vas dan bunyi nyaring memekak.

"Pergi atau aku mati!"

Anne menggenggam sebuah pecahan vas. Ia arahkan benda itu ke nadinya. Bram gelagapan dan angkat tangan. Ketika pintu tertutup, Anne segera menguncinya.

Tetes darahnya mengalir membasahi lantai. No! Anne tidak cemburu. Hanya saja kenapa perasaannya sulit menerima pemandangan tadi? Ia jadi teringat kejadian ketika Seno dan Sabina berada di ruangan yang sama. Ketika dua manusia tanpa malu itu melakukan perselingkuhan dan tidak sengaja Anne melihatnya.

Pembelaan Seno kembali Anne terima setelahnya. Lelaki itu berjanji tidak ada khilaf kedua kali. Nahasnya, ketika materi juga hati Anne tambatkan sepenuhnya, Seno berulah kembali. Ketika pesta pernikahan dilangsungkan, Anne hanya bisa menanggung malu karena Seno batal datang.

Berbagai macam berita di televisi menayangkan wajah Anne yang murung. Tidak sampai di situ, beberapa dari wartawan memelintir cerita bahwa Seno tidak menyukai Anne karena tidak jago di ranjang.

Bangkit dari kehancuran, dunia malam menjadi pelarian. Anne berpetualang dari lelaki ke lelaki. Ia merasa kepuasan karena citra baiknya luntur ditelan sensasi. Tatapannya tidak lagi dikenal sebagai gadis lugu, bahkan julukannya berubah sebagai wanita petualang ranjang.

Hati telah membatu. Sakit menjadi teman. Anne salah dalam memilih jalan. Meski sang ayah mencoba berbagai cara, baru tahun ini berhasil.

"Bisu!" lirih Anne ketika rasa asing menelusup.

Darah dari sayatan di lengan Anne semakin deras mengucur. Entah beberapa menit wanita itu sanggup berdiri. Tiba-tiba gelap menyapa dengan sesak bersemayam dalam dada. Jika ini ajalnya, Anne harap tidak ada lagi lelaki yang ia temui di alam baka.

Detik berlalu, Bram di depan kamar Anne mulai gelisah. Satu jam pasca kejadian, tidak ada tanda-tanda Anne membuka pintu. Ia tidak bisa lagi menghalau rasa penasaran dan langsung mencoba mendobrak pintu. Pada percobaan ketiga, pintu terbuka. Bram merasa jantungnya melompat keluar melihat wanitanya bersimbah darah dan terbaring di lantai.

Buru-buru Bram mengangkat tubuh Anne. Lelaki itu tidak sadar, di belakangnya senyum samar ditampakkan Uci. Well, cerita memang baru dimulai dari sini.

---HISNANAD---

Dokter menyatakan bahwa Anne kehilangan banyak darah. Meski begitu, istri Bram masih bisa diselamatkan. Bram bisa bernapas lega saat itu juga.

Beban Bram seperti hilang ditelan syukur tiada henti. Gerimis menemani perjalanannya kembali ke ruang rawat Anne. Di tangannya telah ada sekantung obat yang baru saja ditebus.

Pintu terbuka. Pemandangan yang memanjakan mata Bram adalah wajah Anne dengan bibir pucat. Wanita itu berhasil membuka mata dan ingin kabur ke mana saja asal tiada Bram di sana.

"Aku tidak suka di sini!"

Bram mengangguk dan akan menggamit lengan wanita itu. Anne menepis kasar.

"Aku tidak ingin bersamamu lagi. Sudah cukup pernikahan ini. Cerai saja!"

Kilat amarah terpampang jelas di mata Anne. Selepas membuka mata betapa tidak bersyukurnya ia berada di dunia. Ia hanya ingin pergi ke tempat tertenang tanpa lelaki.

"Aku lelah, Bram," lirih Anne menggeleng pelan.

"Jika kamu mencintai Uci harusnya menikahlah dengan dia. Kamu bisa menolak perintah ayah. Aku bukan perempuan baik, itu sudah cukup jadi alasan penolakan. Meski bisu, kamu pintar, kok. Aku tahu." Anne menjelaskan panjang lebar meski rasa sakit yang asing kembali hadir.

Tanpa babibu, Bram mengungkung tubuh Anne ke dinding. Matanya bersinar tajam dan menembus dalam karang luka milik istrinya. Dalam hitungan ketiga, bibirnya menyumpal bibir Anne. Lama. Anne berusaha mendorong dada suaminya ketika air mata terasa menetes di pipi. Percobaannya selalu gagal karena Bram mencekal erat tangannya. Saat tautan terlepas, Bram menggendong tubuh Anne secara otomatis.

Mereka berhenti ke loteng rumah sakit. Keheningan tersebut menyita rasa yang Anne punya. Air mata angkuhnya kembali turun selepas lima tahun tertahan. Sialnya, air mata tersebut jatuh di hadapan Bram. Lelaki gagu berstatus sebagai suaminya. Lelaki gagu juga menyebalkan yang selalu membuat darahnya meninggi. Lelaki gagu yang memberi rasa asing pada hatinya malam ini.

"Kamu lancang!" Angkuh. Anne kembali ke aura semula.

Tidak percuma selama ini Anne belajar mengendalikan diri. Sekarang ilmu tersebut bisa ia praktikan di hadapan siapa saja. Termasuk Bram. Namun, ia sedikit menyesal. Ilmunya tidak berfungsi ketika Bram berhasil mencuri napasnya tadi. Sepertinya lelaki itu juga menahan amarah.

"Kamu menciumku. Sudah kubilang kalau ...."

Mulut Anne berhenti bergerak ketika dekapan hangat merembet ke tubuhnya. Ia tidak bisa bernapas rasanya ketika rahang kokoh milik Bram berhasil mendarat cantik di pundaknya. Anne kembali kehilangan penguasaan diri.

Bram menyodorkan ponselnya. Anne bosan, tetapi tangannya menerima saja. Beberapa kata terlihat di note. Matanya menelisik ke aksara yang terpampang di sana.

Sorry. Maaf. Uci hanya ingin membantu mengoleskan salep tadi. Aku tidak ingin dia membantuku. Demi Tuhan, tidak ada apa-apa di antara kami.

"Aku tidak menuduhmu macam-macam. Hanya saja, sepertinya kau terlalu baik untukku, Bram. Tidak. Aku tidak merasa insecure. Aku sempurna. Anneke Atmara itu sempurna, tetapi kamu itu putih dan aku hitam. Selamanya warna itu akan jadi warna yang berlawanan. Mungkin sebaiknya mari kita rancang rencana perpisahan—"

Pluk!

Bram membungkam bibir Anne. Ia membalikkan tubuh istrinya hingga mereka berhadapan. Bram menatap tiap jengkal wajah istrinya. Tangannya terulur mencekal luka tadi.

Suara kecupan menggema seiring dengan Anne yang mematung. Lukanya dikecup Bram, tetapi mengapa hatinya berdebar?

Gumaman Bram dibantu bahasa tubuh dapat Anne mengerti. Malam itu, ia merasa hatinya seperti berada di roaler coaster. Beberapa saat lalu moodnya terasa turun. Sekarang, rasanya ia ingin terbang tinggi.

Dekapan itu menjadi saksi terbentuknya ikatan hati. Anne memang belum sadar. Bram mungkin belum bisa mengungkapkan.

Tidak. Anne tidak bisa tersenyum setelahnya. Ia hanya bisa melingkarkan tangan ke pundak Bram ketika tubuhnya terangkat. Ia juga hanya bisa terdiam mengamati wajah suaminya.

See. Anne kembali ke ruang rawat dengan hening dan lega. Rasa sakit yang asing entah hilang pergi ke mana. Ia hanya merasa ganjil. Gumaman Bram seperti suntikan semangat dalam kebakaran hati.

"Stay with me?" Anne kembali menggumamkan kata dari Bram tadi.

Petualang Ranjang (18+)  (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang