Part 4

27K 1.3K 11
                                    

Satu hari terlalui dengan gondok di hati. Anne tahu Bram tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, ciuman itu tetap menyebalkan!

Setelah kemarin meneriaki sang suami, Anne diam dan enggan berbicara. Meski seharian penuh mereka sama-sama bekerja sama membersihkan rumah, tetapi tidak ada sepatah kata. Mungkin, jika saja Bram bisa berbicara, ia sudah memecah hening dan meminta maaf pada Anne. Padahal ia juga hanya berniat bercanda tanpa ingin apa-apa.

"Huh!" Anne mendengkus dengan keringat membasahi dahi.

Ia benar-benar melakukan olahraga berat hari ini. Mulai dari mengepel, membersihkan debu di perabotan rumah, dan serentet pekerjaan lain yang sedikit ringan karena bantuan Bram. Berkutat dengan pekerjaan tersebut membuatnya lupa hari sudah senja. Rasa lapar dominan menyerang perutnya. Namun, Anne masih merebahkan diri ke ranjang kamarnya. Catat, ranjang kamarnya. Sudah ada kesepakatan bahwa Bram pisah kamar dengan dirinya semalam. Lelaki itu tidak berbuat apa-apa selain patuh pada sang nyonya.

"Lapar banget," lirih Anne memegangi perut.

Atensinya mulai teralih kala harum masakan tercium dari dapur. Ia pun berinisiatif melihat apa yang kiranya terjadi. Seperti dugaan, Bram tengah berkutat dan membuat suatu masakan.

Di pintu, Anne bersidekap dan menatap punggung suami sekaligus sopir pribadinya. Bahkan, dari belakang Bram terlihat tampan. Punggungnya benar-benar lebar untuk sekadar dibuat bersandar.

Mata Anne sedikit terpana melihat kecekatan yang Bram punya. Entah beberapa menit dia memperhatikan punggung tersebut hingga Bram berbalik badan.

Sedikit terkejut, Anne membuang pandang. Bram yang melihat istrinya tersenyum tipis.

"Bisa masak?"

Pertanyaan Anne dijawab anggukan. Bram langsung menyodorkan satu mangkok mie ke istrinya. Lama, Anne menatap mangkok di hadapan.

"Nggak kamu masukin apa-apa, 'kan? Sianida misalnya," tudingnya membuat seringaian Bram muncul.

Melihat ekspresi dan gelengan meyakinkan, Anne merampas mangkok itu. Ya, walaupun hanya mie instan, tetapi Bram bisa memasaknya. Apalah Anne? Seumur hidup, dirinya bergantung pada pembantu. Prinsipnya, kalau ada orang yang bisa ngerjain, kenapa harus dirinya? Sifat itu menjadikannya disebut sebagai wanita ... manja?

"Enak juga," puji Anne tepat di hadapan Bram.

Dahi wanita itu mengerut ketika Bram tiba-tiba menyodorkan sebuah kertas. Ia mengangkat sebelah alis sebelum pandangannya beralih pada sang suami. Kini, Bram menangkupkan telapak tangan di depan dada.

Maaf karena sudah lancang kemarin. Aku hanya bercanda, sungguh. Tidak ada niat apa-apa. '-'

"Oke! Jangan macam-macam lagi tapi. Ingat, kita cuman orang asing!" ujar Anne tajam.

Tanpa melihat ekspresi Bram, Anne melanjutkan sesi memakannya. Padahal, di hadapan, sang suami tengah tersenyum menahan sesuatu yang membakar dada. Padahal, di hadapan, Bram tengah menunduk dan mengepalkan tangan.

Sedikit terganggu ketika selesai makan, Bram pergi entah ke mana. Anne menyadari bahwa suaminya tidak berkata apa-apa. Apa mungkin Bram terluka dengan ucapannya?Nyata, apa yang mau dikata? Pernikahan mereka benar-benar tidak terduga. Mereka pun masih asing sampai kini, atau mungkin hanya dirinya yang merasa asing pada sang suami?

Anne mendesah lelah kala harapannya pupus. Selepas mandi, ia berharap pertanyaan tentang perginya Bram hilang. Namun, rasa khawatir justru mengungkung hati.

Pukul enam malam, Anne menggigit bibir keras. Pikirannya berperang. Ia sempat tahu bahwa Bram membawa mobil dengan kecepatan tinggi tadi. Akan tetapi, apa benar lelaki itu pergi karena terluka dengan kalimatnya?

Petualang Ranjang (18+)  (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang