Part 24

9.2K 751 55
                                    

Tangan dingin yang Anne genggam perlahan menghilang. Wanita yang tengah berbahagia dengan kehadiran sang buah hati, sampai-sampai tak tersadar. Ia sibuk mengusap air mata yang perlahan mengalir tanpa bisa dicegah siapa-siapa.

"Anaknya lelaki. Tampan, Bu. Seperti ayahnya," ucap sang dokter.

Sontak, Anne tergagap. Ia mencari kanan kiri di mana keberadaan sosok tadi. Ia menjerit-jerit sebelum Malika memeluk dan menenangkan wanita malang tersebut.

"Bram? Tadi ada Bram, Mal!" ujar Anne tak sepenuhnya berbohong.

Malika mengangguk enggan menanggapi.

"Ke mana dia? Sayang? Bram?"

Bagai orang gila Anne memanggil lelaki itu. Tak ada jawaban. Malika terisak pilu dan Anne menampakkan wajah lesu.

"Tadi dia benar-benar ke sini, Mal, dia pegang tangan aku, semangatin aku."

Anggukan Malika tak membuat Anne puas. Wanita itu masih memindai di ruangan ini. Ia tak sadar jika Malika tengah menahan gejolak untuk meraung sekeras-kerasnya.

Di ruang terpisah, dokter yang tengah berusaha memicu detak jantung mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tiga kali percobaan tidak membuat jantung lelaki di hadapan untuk berdetak lagi. Dengan helaan napas berat dokter tersebut menyatakan pasien dengan nama Bram Ragawan telah ... mati.

Selepas kesepakatan, perlahan-lahan kain putih tersebut menutup wajah Bram sepenuhnya. Uci yang berada di luar ruangan menerobos para suster dan dokter yang berjaga.

Tangisannya menggema membelah hening dengan orang-orang yang menatapnya iba. Ia meracau mengungkapkan kalimat-kalimat menyayat.

"Kak! Bangun! Bangun! Kau jadi ayah! Kau tega meninggalkan istrimu sendiri hah?!"

Uci mencoba membuka kain penutup tadi. Ia menggoyangkan tubuh Bram. Hening, tak ada pergerakan. Sekali lagi, ia berteriak.

"Jika kau pergi, aku sama siapa, Kak?! Kak Bram! Bangun! Bangun!"

Demaz yang melihat itu semua menarik tubuh gadis labil di hadapan. Didekap dan dielus kepala gadis itu.

"Ada aku," lirihnya juga merasa kehilangan sahabat.

Tangisan Uci masih bertahan meski brankar Bram dibawa keluar. Perlahan-lahan brankar tersebut dibawa ke ruangan mayat.

Bersamaan dengan berjalannya brankar tersebut, kini bayi Anne tengah digendong oleh Hasim. Seperti wasiat Bram dulu, anak tersebut akan diazani oleh dirinya.

"Jangan! Jangan azani anakku," ujar Anne menghentikan pergerakan Hasim.

"Biar Bram. Dia ayahnya!"

Malika menggigit bibir. Sang Ayah yang ada di samping Anne ikut menenangkan sang anak.

"Bram sedang istirahat, biar Hasim, ya," bisik Ayahnya.

Melihat tatapan lembut, emosi Anne mengendur. Ya Tuhan, Malika tak kuat menahan ini semua. Sempat ia lihat pesan dari Uci yang menyatakan Bram telah meninggal. Bagaimana cara menyampaikan semua pada Anneke? Jika wanita itu sudah seperti orang gila begini?

"Allahuakbar Allahuakbar."

Suara Hasim mulai menggema sedikit tegas tapi tak lantang. Lelaki itu tidak lagi mempunyai rasa kepada Anneke. Hanya saja, ia merasa sedih, iba, juga kasihan melihat seberapa besar perjuangan cinta dua insan.

Dalam melafazkan azan, Hasim menghidmatkan diri. Tak lupa ia mendoakan kebaikan untuk anak ini nanti. Ia juga mendoakan agar Tuhan memberikan jalan kebahagiaan untuk seorang Anneke Atmara dan Bram Ragawan.

Petualang Ranjang (18+)  (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang