Angga dan asma [9]

683 86 0
                                    

Angga menapakkan kaki miliknya, enggan untuk sekedar duduk dan merehatkan diri. Padahal, seharian dirinya terus berjalan setelah pulang dari rumah temannya, kakinya lelah, dadanya mulai terasa sesak, akibat cuaca yang sangat panas.

Biasanya, dia akan memanggil supir, menaiki taksi atau tidak alternatif kendaraan lain, ojek online, angkot bahkan pun sering ia tumpangi, namun hari ini, dirinya enggan untuk menaiki kendaraan alternatif dan lebih memilih berjalan kaki.

Walau dia bisa menaiki mobil atau bahkan motor sendiri, tapi untuk antar jemput urusan sekolah, dirinya tak diperbolehkan.

"Huft.. mau mampir ke cafenya kak Jake deh, soalnya pengen Caffucino dingin."

Angga terus berjalan, melewati beberapa pedagang pasar juga pedagang kaki lima, kadang juga ia melewati beberapa pengemis, dan berakhir ia memberi pengemis-pengemis itu lembaran uang.

Angga juga tak peduli, mau pengemis itu berpura-pura atau apa, yang penting dari lubuk hatinya, ia sudah berniat untuk memberi, tanpa embel-embel kasihan atau pamer.

Dirinya diajarkan sang ayah, Rendi, bahwa untuk memberi, tak perlu hanya karena hasrat 'kasihan' atau 'pamer', karena yang jelas, memberi itu harus dengan niat. Kalau memberi hanya untuk pamer dan sebagainya, berakhir bukan menjadi sebuah pahala dong?

Ayahnya dulu hidup dengan keuangan yang sulit, ekonomi untuk standar dan bisa dibilang kekurangan, namun Rendi sang ayah tak pernah mengeluh untuk tetap bekerja keras. Rendi sangat paham, bagaimana rasanya dianggap remeh oleh orang hanya karena ekonomi yang kurang, Rendi tak mau, ada orang lain yang mengalami seperti dirinya.

Terlebih lagi, Rendi dan keluarga tak pernah dibantu sama sekali oleh keluarganya yang lain. Mereka dibiarkan, hanya karena masalah di masa lampau. Rendi tentu sakit hati, ada rasa ingin membenci bibi dan pamannya, namun, ia ingat bahwa membalas dendam itu lebih buruk.

Bahkan, tetangga lah yang lebih peduli pada keluarga Rendi, lebih dari keluarga Rendi sendiri. Tetangga itu sering membantu Rendi, dari segi ekonomi, uang, bahkan pakaian dan juga makanan, tanpa segan, tangannya begitu ringan untuk memberikan Rendi bantuan.

Astaga, saat mengingat cerita ayahnya itu, Angga jadi salut, butuh perjuangan untuk sang ayah ada di posisi sesukses ini, dan ia mau menjadi sama seperti sang papa.

Angga berjalan, hingga netranya tanpa sadar bertemu dengan cafe sang kakak yang kelihatannya mulai ditinggal pengunjung, biasanya pegawai cafe diberi waktu istirahat siang, dan mungkin waktu istirahat itu tiba.

Angga mengintip dari bilik pintu, dan sepertinya salah seorang pegawai sadar, membuat Angga langsung menyentuh bibirnya menggunakan jari telunjuk, menyuruh pegawai itu diam dan tak memberitahu Jake yang sedang asik membaca majalah.

Pegawai pria itu menurut, sedikit tertawa saat melihat bosnya tak sadar sama sekali saat sang adik ada didepannya, tersenyum jahil, ingin mengagetkan.

"Jiakhh bang Jake!"

Jake langsung kaget, bahkan majalah yang ia pegang hampir terlempar kebawah meja, Jake mengelus dada, jantungnya jadi bergedup cepat karena kaget.

Setelahnya, dirinya menoleh keasal suara. Didepannya, ada sang adik yang sangat tampan, memakai baju berwarna hijau serta celana coklat muda minimalisnya, jangan lupakan senyuman manis nan jahilnya.

"Ngagetin aja ya! Dasar Angga! Ngapain disini?"

"Jadi abang gak suka Angga kesini?" Angga langsung merengut, membuat Jake geleng-geleng kepala, dan menoyor kepala Angga pelan, berniat bercanda sedikit.

"Sensian amat! Enggak lah, abang ini kan abang yang cinta adik, gak bakal gak suka kalau bertemu dengan adik abang sendiri,"

Angga tertawa pelan, lalu mendudukkan dirinya disalah satu kursi di cafe abangnya ini. Lumayan lelah juga berjalan seharian, tapi, hitung-hitung olahraga kaki sedikit lah, jadi tidak apa.

Bunda, aku hanya ingin bunda [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang