3# IYAKAN ATAU TOLAK

154 165 89
                                    

Tidak bisakah sehari saja tidak bertemu? Aku hanya tak tega jika terus-terusan mengabaikanmu.

-Len&Fad

Alena menutup tirai jendela kamarnya. Lantas mengetik sesuatu di layar ponsel miliknya.

Lo ngapain di depan rumah gue?

Hanya dengan waktu kurang lebih dua detik, sudah kembali muncul notifikasi.

Jemput lo, lah.

Setelah dirasa semua sudah selesai, Alena buru-buru turun ke bawah.

"Sarapan dulu Alen," titah Messy.

"Hm," gumam Alena seraya menyeret kursi yang hendak ia duduki.

Messy hanya tersenyum tipis mendengar sahutan dari putrinya. Lalu Messy pun mengambil piring dan meletakkan dua lembar roti gandum dengan selai kacang di atasnya. Tidak lupa segelas susu hangat seperti biasa.

Pagi ini, mereka hanya sarapan berdua. Karena sejak subuh, Galih sudah menuju ke bandara. Ada kerjaan mendadak yang mengharuskan papanya Alena untuk pergi ke Surabaya. Sebenarnya, hal ini bukan hanya sekali dua kali terjadi. Tak jarang Messy dan Alena sarapan, makan siang, maupun makan malam hanya berdua saja.

Drrttt..

Kok lo nggak bales, sih? Masih lama? Lagi sarapan, ya?

Membaca pesan yang masuk barusan, membuat Alena menghela napas panjang.

"Loh, udah selesai sarapannya. Roti kamu belum habis," ujar Messy ketika melihat Alena tiba-tiba berdiri.

"Udah kenyang," jawab Alena. "Alen berangkat, Ma."

Meskipun Alena tidak terlalu akrab dengan mamanya, tapi Alena juga tidak lupa menyalami tangan kanan Messy dan mengucap salam sebelum pergi ke sekolah. Karena bagi Alena, hal itu wajib untuk dilakukan.

•••

"Hampir gue tinggal," cetus Fadril langsung menyalakan mesin mobilnya.

"Gue nggak minta dijemput." Alena menyahut seraya masuk ke dalam mobil Fadril. Tidak lupa memasang selt belt agar nyaman. Maaf, aman maksudnya.

"Gue mau jemput."

"Tapi gue nggak mau dijemput."

"Gue mau kita berangkat sekolah bareng."

"Tapi gue nggak mau."

"Len."

"Fad."

Fadril berdecak. "Lo kenapa, sih? Gue kan mau akrab sama lo."

"Justru itu, gue nggak mau akrab sama siapa pun. Termasuk lo."

"Len, tadi malem kita baru aja makan mi pangsit berdua. Gue kira kita udah jadi temen deket. Ternyata belum?"

"Bukan belum. Tapi nggak akan," celetuk Alena lalu mengambil ponsel di dalam saku tasnya.

"Lo mau ngapain?" tanya Fadril ketika melihat Alena mengetik sesuatu di atas layar ponselnya.

"Pesen ojol."

"Len, gue udah nungguin lo dari tadi loh."

Alena menggenggam erat ponsel miliknya. Rasa kesal gadis itu tiba-tiba saja datang. Mood-nya pagi ini benar-benar berantakan. Ingin sekali marah pada Fadril yang selalu saja memaksakan kehendaknya. Tapi apa daya, Alena tidak tega untuk menolaknya.

"Makanya lain kali kasih tahu gue dulu kalo mau ke sini. Kan gue udah bilang, lo ga boleh ke sini lagi," jelas Alena.

"Oke-oke. Sekarang tahan dulu marahnya." Fadril pun mulai melajukan mobilnya. "Nanti kita telat sampe sekolah, kalo debat terus."

Tidak ada yang bisa dilakukan Alena sekarang kecuali mengikuti jalan pikiran cowok aneh di sebelahnya.

•••

Alena sudah menduga. Pasti akan banyak wartawan dadakan setelah pertunjukan pagi tadi. Hal itu sudah terlihat jelas ketika semua pasang mata memerhatikan Alena dan juga Fadril yang berada di satu mobil.

Bahkan dari pagi sampai sekarang, wartawan dadakan itu belum juga menghilang. Justru semakin bertambah. Anehnya, Fadril menyikapi hal ini dengan biasa saja, mungkin karena cowok itu sudah terbiasa satu mobil dengan banyak gadis. Tapi tidak untuk Alena. Hal ini adalah pertama kalinya.

"Wah-wah. Itu bidadari yang kemarin lo bilang, Fad?" tanya Hariz.

Saat bel istirahat berbunyi, Fadril memang sengaja datang menghampiri Hariz ke kelasnya.

Tidak dalam satu kelas, membuat mereka jadi jarang bertemu. Kecuali jam istirahat seperti ini.

Fadril menyunggingkan senyumnya.

"Cantik."

"Bener kan?"

Hariz mengangguk mengiyakan. "Jadi bakal ada pengganti mantan lo, Fad?"

Fadril berdecak. "Nggak usah bahas mantan."

"Sori," kekeh Hariz mengerti. "Udah sampai sejauh mana, nih?"

"Masih jauh banget. Karena dia beda, Riz." Fadril berujar.

"Bedanya? Kan sama-sama cewek."

"Tapi dia secara terang-terangan nggak mau akrab sama gue."

"Lah, kenapa?" Hariz bingung.

Fadril mengedikkan bahunya. "Udahlah, gue balik ke kelas. Udah mau masuk juga," ucap Fadril tak ingin melanjutkan pembahasan.

•••

"Anak Mami kenapa, nih? Ditekuk gitu mukanya." Cahya menghampiri putranya yang sedang duduk di atas sofa.

"Eh, Mi." Fadril tersenyum menyapa maminya.

"Nih, Mami bawain puding. Dimakan gih," pinta Cahya lembut.

Fadril mengangguk dan menyambut puding yang dibawa oleh maminya. Lantas menyendok sedikit untuk ia coba puding mangga buatan maminya.

"Hm. Rasanya nggak berubah, Mi." Fadril memuji.

"Masih sama?"

Fadril mengangguk.

"Kamu belum jawab pertanyaan Mami, loh? Kamu kenapa? Murung gitu. Lagi ada masalah?" tanya Cahya sedikit khawatir. Lantas ikut duduk di sebelah anaknya.

"Fadril itu lagi penasaran banget sama satu cewek, Mi. Fadril cuma mau jadi temen dia aja. Tapi dia nggak mau. Aneh kan, Mi?"

Cahya tersenyum. "Kalo bagi Mami, sih, nggak aneh. Mungkin aja, ya, memang dia tipe orang yang sulit untuk percaya sama orang lain. Atau mungkin, dia pernah dikhianati. Jadi susah untuk buka hati. Meskipun hanya teman," jelas Cahya. "Jadi tugas kamu, buat dia percaya. Buat dia yakin. Kalau kamu tulus mau temenan sama dia. Nggak usah buru-buru. Pelan-pelan aja. Karena kita kan juga nggak bisa maksa orang lain untuk suka juga sama kita," sambungnya.

"Makasih, ya, Mi nasihatnya. Sekarang Fadril tahu, apa yang harus Fadril lakukan."

"Gitu, dong. Itu baru anak Mami."

Setelah mendapatkan nasihat dari maminya, Fadril pun pamit untuk pergi ke kamarnya.

•••

Alena, besok kalau berangkat ke sekolah bareng lagi, mau?

Setelah membaca pesan masuk dari Fadril, Alena hanya menatapnya saja dan tak kunjung membalas. Gadis itu tidak tahu harus menolak atau mengiyakan ajakan Fadril.

Sementara di seberang sana, Fadril masih setia menunggu balasan dari Alena. Melihat pesannya sudah mendapat dua centang biru, membuat Fadril harap-harap cemas menunggu jawaban dari Alena.

Nggak.

Fadril hanya menghela napas perlahan setelah mendapat balasan yang sebenarnya mengecewakan. Tapi Fadril juga nggak bisa memaksa.

Okeh. Kabarin, ya, kalo udah mau berangkat ke sekolah bareng sama gue lagi.

"Maaf, Fad," gumam Alena tanpa kembali membalas pesan dari Fadril.






Salam

Ifa Shaffa

Len & FadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang