4# PERASAAN ANEH

156 165 74
                                    

Sebelumnya ini tidak pernah terjadi, kuharap ini hanya mimpi.

-Len&Fad

Seperti biasa, di jam istirahat Alena lebih memilih berada di dalam kelas. Membaca buku atau mendengarkan playlist musik favoritnya. Tapi kali ini ada yang beda. Alena tidak sendirian. Dia ditemani oleh seseorang.

Tidak ada yang salah dan sama sekali tidak masalah. Selama orang itu tidak mengganggu. Dan Alena tidak akan terganggu.

"Aduh," pekik Alena lirih seraya memegangi rambutnya.

"Bentar, ya." Seseorang itu tidak lain adalah Fadril. Dia tiba-tiba saja berdiri dari duduknya dan melesat pergi. Membuat Alena semakin tidak mengerti.

Dalam waktu tidak sampai lima menit, Fadril sudah kembali lagi ke dalam kelas. Seraya mengatur deru napasnya yang tidak beraturan karena berlari-lari, Fadril berjalan pelan menuju bangkunya.

Sama sekali tidak ada yang berubah, Alena masih serius membaca buku sampai-sampai tidak sadar kalau Fadril sudah kembali.

"Besok-besok, jangan lupa bawa cadangan, Len. Jadi nggak bakal ngerepotin gue kayak gini," ujar Fadril sembari mencepol ulang rambut hitam panjang Alena yang terurai.

Alena tertegun. Seketika gadis itu menghentikan bacaannya karena Fadril tanpa izin mencepol rambutnya. "Perasaan gue sama sekali nggak minta direpotin sama lo. Gue nggak minta lo cari ikat rambut baru karena ikat rambut gue tiba-tiba putus dan cepolin rambut gue kayak gini."

Saat Alena hendak menghentikan aktivitas Fadril yang mencepol rambutnya, Fadril berdecak dan menangkal tangan Alena pelan. "Tanggung."

"Gue baru sadar, lo jadi keliatan tambah cakep kalo nggak dicepol. Mana rela gue. Entar banyak yang naksir lagi sama lo," ujar Fadril usai mencepol rambut Alena.

"Apaan, sih, Fad," kesal Alena dengan tatapan tak suka.

Fadril tersenyum tipis ke arah Alena. "Kok apaan, sih. Kan bener. Gue bisa-bisa jatuh cinta juga nanti sama lo. Makin susah. Soalnya pasti langsung ditolak," ucap Fadril diakhiri dengan tawa.

Seperti sudah biasa bagi Fadril sekarang, ia meneguk minuman yang selalu dibawa Alena dari rumahnya tanpa izin. Dan Alena juga sudah tidak ingin lagi melarang. Karena percuma, Fadril akan tetap melakukannya.

Setelah minuman habis. Fadril akan kembali meletakkan ke tempat semula tanpa merasa berdosa.

"Len."

"Hm," gumam Alena tanpa menoleh.

"Lo alergi, ya, Len? Leher lo merah-merah," cetus Fadril khawatir yang tanpa sengaja memerhatikan leher Alena. "Gue juga sering kayaknya lihat lo garuk-garuk leher. Lo alergi apaan? Makanan? Cuaca? Atau apa? Lo punya obatnya?" rentetan pertanyaan Fadril membuat Alena memalingkan wajahnya dan menutup lehernya dengan telapak tangannya.

"Entar juga hilang sendiri, kok. Nggak perlu pake obat." Alena menyahut tanpa menoleh. Karena sebenarnya gadis itu pun tidak tahu apa yang terjadi dengan lehernya. Baru akhir-akhir ini saja Alena mengalaminya.

"Hilang sendiri gimana? Kalau lo masih garuk-garuk leher begitu?"

Benar. Bahkan saat ini pun Alena masih terus menggaruk-garuk lehernya yang semakin gatal.

"Ya udah. Entar pulang sekolah gue anter ke dokter, ya," pinta Fadril.

"Nggak perlu!" jawab Alena cepat.

"Biar lo cepet sembuh, Len."

"Orang gue nggak kenapa-kenapa."

"Nggak kenapa-kenapa gimana? Leher lo udah merah-merah begitu, Len? Dan lo bilang nggak kenapa-kenapa?" cemas Fadril.

"Fad, cukup, ya. Lo nggak tahu gue dan nggak kenal gue. Jadi nggak perlu khawatir kayak gitu. Gue udah biasa nanganin sendiri."

"Segitu nggak maunya, ya, lo temenan sama gue, Len. Gue kayak gini karena gue peduli sama lo."

Pertikaian mereka pun berhenti karena suara bel masuk kelas berbunyi.

Setelah ungkapan kecewa yang barusan terlontar dari mulut Fadril. Alena memilih diam tak menjawab.

•••

Mengingat kejadian di sekolah tadi, membuat perasaan Fadril tak tenang. Isi kepalanya benar-benar penuh dengan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran.

Entah mengapa tiba-tiba dadanya terasa sakit ketika mengingat ucapannya terhadap Alena yang dirasa sudah sangat keterlaluan.

Fadril pun menutup buku pelajaran karena dirasa tidak dapat berkonsentrasi. Isi kepalanya kali ini benar-benar kacau. Fadril pun mengambil ponsel di sebelahnya dan membuka aplikasi WhatsApp. Lantas menilik InstaStory teman-temannya yang berlayar di layar aplikasi WhatsApp miliknya.

Namun, ada salah satu InstaStory yang berhasil membuat Fadril tak berkedip. Fadril menyunggingkan senyumnya dan tanpa ragu Fadril menge-klik tulisan balas di sana.

Kenapa suka bulan?

Sepertinya Alena sedang memegang ponselnya. Karena tidak butuh waktu lama, Alena membalas chat balasan dari Fadril untuk InstaStory-nya.

Bukankah menyukai itu tanpa alasan?

Alena balik bertanya. Dan tanpa sadar Fadril tersenyum membacanya. Lantas mengangguk-angguk mengiyakan.

Di ujung sana, Alena terkejut ketika tiba-tiba saja ponselnya berdering. Fadril meneleponnya.

"Halo," Alena menjawab panggilan telepon dari Fadril.

"Halo, Len. Pasti masih di luar, ya? Di balkon kamar? Kenapa belum tidur?"

"Gue bingung mau jawab yang mana," sahut Alena.

"Nggak dijawab juga nggak apa-apa, kok." Fadril berkata jujur. "Oh iya, Len. Maaf, ya, buat tadi siang di sekolah," sambungnya.

"Hm?" Alena bingung.

"Iya nggak seharusnya gue maksa-maksa lo pergi ke dokter. Dan nggak seharusnya juga gue marah ke elo tadi," ujar Fadril tulus.

Bukannya gue, ya, yang seharusnya minta maaf ke elo, Fad? Batin Alena.

"Len, kok diem aja? Udah tidur?"

"Belum."

"Hmm, lo nggak mau diganggu, ya? Ya udah, deh. Lo istirahat, ya. Selamat malam."

"Fad," panggil Alena.

"Iya, Len."

"Makasih, ya. Udah mau peduli dan khawatir sama gue. Selamat malam."

Tut.. tut.. tut..

"Gue nggak salah denger, kan, barusan. Aaaaaaaa.. Yes! Yes! Yes!" pekik Fadril girang.

"Fadril. Kamu kenapa teriak malem-malem." Cahya pun membuka pintu kamar anaknya karena berisik.

"Eh, Mi. Iya maaf, Mi. Fadril lagi bahagia soalnya," ucap Fadril tanpa ragu.

Sementara Cahya hanya berdecak pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kamu ini. Ya udah. Kecilin volumenya."

"Sip! Mi." Sambil mengacungkan ibu jarinya ke udara.

Usai maminya keluar kamar dan menutup pintu kembali, Fadril pun melayangkan tubuhnya ke atas ranjang. Sepasang matanya berbinar, dan senyumnya semakin menawan. Sepertinya malam ini ia akan mimpi indah.






Salam

Ifa Shaffa

Len & FadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang