[Newwiee POV]
~19 tahun lalu ~
Malam itu hujan turun sangat deras. Aku tidak bisa tidur karena suara petir yang menggelegar. Aku berusaha menutupi telinga dengan bersembunyi dibalik selimut. Tapi tetap saja aku masih mendengar suara petir. Kalau saja ibu tidak menginap di rumah nenek, aku bisa memintanya untuk menemaniku tidur.
Suara petir semakin membuatku tidak nyaman. Ah sepertinya aku harus meminta Ayah untuk menemaniku.
Aku langsung turun dari tempat tidur, lalu berlari menuju ruang kerja Ayah. Saat turun dari tangga, suasana di ruang tengah sungguh sepi dan lampu besar dimatikan. Hanya ada lampu kecil yang menyala. Aku segera berlari agar cepat sampai di tempat Ayah.
Tapi saat aku sampai di depan ruang kerja Ayah, aku mendengar dua orang yang sedang berdebat. Dengan memberanikan diri, aku melangkah mendekati pintu yang sedikit terbuka untuk mengintip suasana di dalam.
"DIAM! AKU TIDAK AKAN IKUT PROYEK ITU. AKU KELUAR!"
Suara Ayah terdengar sangat marah. Itu pertama kalinya aku mendengar Ayah berteriak marah.
"Techa dengar! Proyek ini sebentar lagi akan selesai. Dan aku tidak mengijinkan mu keluar. Kita hanya butuh satu hal-"
"Cukup. Aku tidak akan melakukan kejahatan lagi. Cukup sekali aku mengikuti omonganmu. Silahkan anda pergi tuan Viho."
"Sekali kamu masuk ke dalam kerjasama ini, kamu tidak akan bisa keluar Techa. Kamu harus menyelesaikan tugasmu."
"Tidak. Aku berhenti! Iya atau tanpa persetujuanmu."
"Kalau seperti itu, aku tidak bisa menahanmu lagi. Dan selamat tinggal Techa."
DOR!
Aku tidak tahu apa yang Ayah dan orang itu bicarakan. Setelah suara bentakan marah Ayah, tidak ada lagi suara yang terdengar. Mereka terdiam cukup lama, atau sepertinya mereka berbicara tapi dengan suara yang kecil. Lalu tiba-tiba aku mendengar suara tembakan juga suara petir yang menyambar.
DOR!
Kakiku terasa lemas, tanganku bergetar, dan kepalaku terasa berat. Aku sedikit kesulitan bernapas. Entah bagaimana ceritanya, aku masuk ke dalam ruang kerja Ayah. Aku bisa melihat jika kepala Ayah dipenuhi oleh darah yang terus mengalir tanpa henti. Baju Ayah bahkan menjadi warna merah.
"Ayah..." bisikku pelan.
Orang itu tiba-tiba berbalik. Menatap aku dengan pandangan terkejut. Tapi hanya hitungan detik, ekspresinya berubah gelap. Dengan perlahan aku melangkah mundur. Dipikiranku, aku harus lari. Pergi keluar rumah mencari bantuan.
Aku bergegas lari menuju pintu besar. Walau sedikit kesusahan saat membukanya, aku terus berusaha hingga pintu terbuka dan aku lari menerjang hujan juga petir yang saling menyambar.
Aku terus lari, lari, dan lari. Aku takut harus menengok ke belakang. Aku takut orang itu mengejarku. Tapi... Saat aku hampir mencapai gerbang rumah, tanganku ditarik paksa dan aku jatuh terjerembab ke belakang.
Air hujan membuat pandangan terasa kabur. Tubuhku juga terasa sakit karena jatuh dengan posisi yang salah. Orang itu berjalan mendekatiku. Lalu dengan cepat dia mencekik leherku. Aku kesulitan bernapas. Aku mencoba melepaskan tangan orang itu dari leherku. Tapi cekikannya semakin menguat.
"Aaargh." Hanya suara tercekat yang bisa aku keluarkan.
"Maaf nak. Semoga kamu tenang di surga."