Part 9

1 0 0
                                    

Belakangan cuaca menjadi sangat ekstrim di siang hari. Panasnya luar biasa. Jaket, sarung tangan, payung tidak mampu menghalangi panas matahari untuk tetap mendeklarasikan kemegahannya. Toko-toko penjual minuman di penuhi pelanggan yang mengantri bahkan hingga ke luar pintu. Pedagang-pedagang pinggir jalan tak kalah sibuk melayani antrian pembeli yang berjubel dan berteriak mengatakan mereka datang lebih dulu dari pada yang lainnya.

            Panas untuk sebagian orang yang merepotkan, tapi sebaliknya, untuk sebagian lainnya adalah kesempatan. Seringkali situasi yang kita rutuki adalah anugrah untuk yang lain. Mima dapat merasakan peluh mengalir di punggungnya. Sesekali ia mengebaskan pakaiannya. Gelas tinggi yang ia pegang hanya menyisakan tetes terakhir untuk tenggorokan keringnya.

            Mima baru saja akan ikut mengantri di kerumunan orang-orang di depan lift yang baru kembali dari makan siang. Ia menengok sahabatnya, yang sedari tadi sibuk memutar kipas kecil di tangannya kesegala arah. Pandangan Mima, terhenti pada perut besar Luna. Ia berbalik, mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari tempat yang cukup nyaman untuk mereka duduk sebentar.

" Lun, sana dulu aja yuk, kesian anak lo harus desek-desekan di lift " Mima menarik tangan Luna dan membawanya ke sudut Gedung.

" Kesana aja deh " Luna menunjuk café yang berada tidak jauh dari mereka dan nampak tidak terlalu ramai " Gue tiba-tiba pengen banget makan cake coklat nya, itu es lo juga udah habis, kita refill disana ajah " Luna ganti menarik tangan Mima

" Makan lagi ? kan barusan beres makannya "

" Sorry " Luna membalik badannya dan melihat Mima yang berjalan di belakangnya " Kita makan jam 12 ya, jalan kakinya ke tempat makan hampir 30 menit sendiri, belum lagi diserep ama panas, laper lagi kan gapapa, lagian kan gue makannya buat berdua " Luna mengelus perut buncitnya, mencari pembelaan.

" Iya udah, ayoo " Mima tersenyu sembari mengapit tangan sahabatnya.

            Duduk di sofa empuk dengan pendingin ruangan di temanin beberapa cake dan minuman dingin, ini lebih mirip dengan makan siang tahap 2. Mima hanya tersenyum melihat sahabatnya dengan antusias mengambil foto dari makanan yang baru di pesannya.

" Lo yakin gak mau ? " Luna memasukkan sendokan pertama cake cokelatnya

" Buat lo semua ajah " Mima sibuk membalas email dan mengkoreksi beberapa pekerjaan melalui gadgetnya.

" Gimana sama mas Bima ? aman ? "

" Gitu ajah "

" Gitu ajah gimana "

" Ya, biasa ajah, he sent me message, we call each other, standart aja "

Luna meletakkan sendoknya, mengelus perutnya sebentar dan mendorong cake yang baru ia masukkan kedalam mulut dengan air putih " Gue sebenernya mau langsung maki lo sih ini, tapi mengingat gue lagi hamil, ini lagi gue pilihin kata-kata yang bagus dulu buat maki lo "

" Kenapa lo harus maki gue "

" Ahhh tau ahhh Mim, terserah lo aja baeknya gimana "

            Mima meletakkan gadgetnya. Ia memandang sahabat yang duduk di depannya sekarang. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan namun ada ketakutan yang menahannya. Ia takut apa yang ia katakana akan di mentahkan begitu saja, ia takut kekhawatirannya dianggap tidak beralasan, ia takut pandangannya di anggap tidak pada tempatnya.

            Suara deting jarum jam yang bertengger manis di tangan Mima tiba-tiba rasanya bisa ia dengar dengan jelas. Detak jantungnya yang mulai berdegup cepat juga dapat ia rasa dengan jelas. Kecemasan semacam ini kadang-kadang hadir tanpa pernah ia tau penyebabnya.

Marriage PlanetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang