Part 11

0 0 0
                                    

Langit cerah berwarna biru. Gemawan putih bertebaran dari ujung satu ke ujung lainnya dengan bentuk berupa-rupa. Terkadang ia menyerupai apa yang sedang terbayang di dalam kepala, lalu manusia akan menamainya sebagai pertanda, isyarat semesta. Kemudian muncul lah firasat yang seolah nanti akan membenarkan semua yang telah terjadi.

            Mima mengecek handphonenya, ada banyak notifikasi yang belum sempat ia buka. Sudah lewat tengah hari, piring-piring makan siang harusnya sudah rapi kembali. Tapi Mima masih sibuk dengan tumpukan kertas yang ada di depannya. Ia hanya memakan beberapa butir anggur dan menghabisan satu botol susu kedelai favoritnya.

            Mima memang seringkali lupa waktu ketika ia sudah berhadapan dengan pekerjaannya. Ia merasa, saat mood dan ide sedang dalam kondisi prima untuk mengerjakan sesuatu, maka ia akan memaksimalkannya. Belum ada sepuluh menit, Mima kembali mengecek handphonenya.

" Kenapa sih handphonenya di liatin mulu " Luna mendekatkan dirinya ke sebelah Mima dan memasukkan sepotong biscuit cokelat ke mulut Mima " Yang udah heeh sama Mas Bima, sekarang bawaannya liat hape mulu ya "

" Enggak, kan hari ini emang janji, takut kelewat aja, gue butuh ganti baju sama touch up dikit "

" Mau kemana sih " Luna tidak berhenti menggoda

" Dia ada acara kayak ramah tamah gitu lah sama client nya terus sama beberapa temennya gitu, terus dia ngajak. Gak ada kerjaan yang urgent, jadi gue iyain aja "

" Waduh, udah di kenalin ke lingkungannya aja nih, bentar lagi bawa mereka ke rumah nih kayaknya "

            Mima tak bergeming. Ia hanya tersenyum kecil dan meneruskan pekerjaannya. Membiarkan sahabatnya terus menggoda.

" Ngomong-ngomong kayaknya lo gak banyak cerita tentang hubungan lo ama Bima gak sih ?. Kalo gue pikir-pikir kayaknya gue banyak miss deh, ketinggalan gitu, apa lo yang emang membatasi buat cerita ke gue ya "

            Mima meletakkan pulpen yang di pegangnya. Ia merapihkan beberapa kertas dan menumpuknya di pinggir meja dengan rapi. Kalimat yang di lontarkan Luna barusan, benar. Ia memang tidak begitu banyak bercerita dan meng-update apa yang terjadi dengan dia dan Bima. Mima takut terjebak dalam euphoria sesaat. Ketika ia terlalu bersemangat, dan hasil tidak sesuai dengan ekspektasi, ia takut itu akan membuat mereka yang mendukung hubungan mereka akan merasa bersalah karena pernah bergabung dalam tim pemandu sorak. Bagian terburuknya, Mima tidak ingin merasa di kasihani. Ia berusaha menjadi setenang mungkin. Tidak gegabah, termasuk dalam menyebarkan informasi.

" Gak ada yang menarik sih Lun. Ini tuh kayak emang lo nyari partner gitu lho. Orang yang bener-bener bakalan ada buat lo apapun keadaannya. Jadi kita jarang sekali nanya sudah makan belum, lagi ngapain. Bisa di itung jari banget yang gitu-gitu " Mima mencoba memberikan gambaran secara garis besar. Ia tidak ingin sahabatnya merasa tidak di libatkan atau ada rahasia yang Luna tidak tahu.

" Jadi obrolan kalian yang serius itu udah sampai mana ? "

" Sampai mana ya. Sampai kayaknya gue sadar kalau dia datang saat gue udah berhenti nyari. Datang aja tiba-tiba. Dia bawa apa yang menurut gue ga mungkin. Dia gak ngasi gue harapan, tapi dia nunjukin kalo dia orang yang bisa di andalkan. Kalo mau ngomong baper apa enggak. Kayaknya gue udah satu level di atas baper. Situasi yang sebenernya pengen gue minimalisir atau kalo bisa di hindari. Tapi baper sama laki-laki ini tuh, kayak ada tujuannya gitu. Jelas. Bukan sekedar temen ngobrol yang saat sudah nyaman tiba-tiba hilang, saat sudah bosan mundur pelan-pelan. Dia gak banyak bicara tapi setiap pembicaraannya bisa di pertanggung jawabkan rasanya. Dia juga ngasi jarak, biar aku bisa menjawab atau bertanya. Rasanya kayak terikat dalam kebebasan gitu. Aku menemukan diri ku sendiri dalam aku yang dulu ketahan tapi tiba-tiba di ajak keluar dan jalan-jalan. Seru "

Marriage PlanetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang