4. Kawan Seperjuangan

181 48 15
                                    

Dibiasakan vote dulu sebelum baca. Selamat bersemesta <3

Sejak dahulu Binta tidak pernah berpikir bahwa dia akan bersekolah di sebuah sekolah elit yang hanya berisi anak-anak berdompet tebal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak dahulu Binta tidak pernah berpikir bahwa dia akan bersekolah di sebuah sekolah elit yang hanya berisi anak-anak berdompet tebal. Gadis tersebut bahkan tidak pernah membayangkan akan diberikan jatah uang bulanan yang setara dengan hasil penghasilan ibu dahulu jika dikumpulkan tiga bulan tanpa adanya pengeluaran.

Malam tadi, Bunda menghampiri Binta hanya untuk menanyakan sudahkah dia mempersiapkan semua kebutuhannya untuk sekolah. Bunda juga berkata bahwa dia sudah mengurus semuanya. Binta hanya perlu datang ke kantor kepala sekolah dan setelah itu dia akan diantar menuju kelasnya. Tidak lupa, Bunda memberitahukan bahwa dia membiasakan anak-anaknya untuk mengurus uang sejak remaja. Membiasakan Sekala pun Nava menerima jatah uang bulanan agar mereka bisa belajar mengatur uang sejak dini.

Sebenarnya Binta tidak perlu belajar. Dia sudah terbiasa mengatur uang bahkan mencari uang sendiri. Kehidupannya dahulu tidak mudah. Dia bahkan harus berkeliling siang-siang untuk mengantarkan pesanan roti orang-orang pun begadang semalam suntuk membantu ibunya seusai belajar.

Hebat sekali dengan kehidupannya yang berubah dalam waktu semalam.

Kelimanya kini sedang duduk rapi dengan bunyi dentingan sendok dan garpu para piring. Ayah duduk di kursi utama paling ujung. Bunda di sisi kiri bersama Binta dan dihadapan mereka berdua ada Sekala dan Nava.

"Mas Nava, nanti jangan lupa antar adiknya ke kantor kepala sekolah, ya."

Nava berdecak, acara makannya terjeda. Dia menatap Binta sekilas dengan nyalang, "Dia kan punya mata. Kenapa harus diantar segala? Sudah besar. Jangan manja."

Sejujurnya, Nava belum terbiasa dengan panggilan barunya. Mas Nava? Yang benar saja. Dia kini adalah seorang kakak dengan status anak bungsu yang diturunkan pada adiknya. Itu tentu saja sangat menyebalkan dan Nava merasa risih ketika panggilan itu ditujukan padanya. Namun tentu saja dia tidak memiliki kuasa untuk melawan kedua orang tuanya.

"Mas Nava ...." Bunda berucap sekali lagi, "Adiknya kan masih baru di sini. Sekolah kamu besar. Kasihan dia kalau keliling sendirian. Nanti kesasar, gimana?" Bunda menambahkan sedikit nada lucu di sana, tanpa menghilangkan senyum hangatnya untuk mencairkan suasana.

"Nyusahin banget, sih! Sudah minta nebeng tiap hari, sekarang malah harus diurus segala. Lagian―"

"Nava," Sekala memotong cepat ucapan adiknya. Pemuda itu masih tampak tenang, kendati sejak tadi matanya cukup tajam untuk memperhatikan gerak-gerik Ayah yang sedikit terusik, "Antar saja Binta apa susahnya, sih? Kamu nggak lagi di suruh kerja macam kuli. Nggak usah banyak ngeluh."

"Nggak apa-apa. Binta bisa sendiri, kok. Nanti Binta tanya-tanya ke orang yang di sana." Merasa tidak enak, Binta menggeleng dan mencoba meyakinkan semua orang.

Merebah Bumi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang