"Cari siapa?" Seorang pria yang menggenggam koran pagi muncul dari balik pintu.
Mulut Casia terbuka saat tatapannya tidak sengaja bersitubruk dengan tatapan pria itu. Melihat Mamanya menggenggam tangan Papanya begitu erat, Mona mengartikan hal tersebut sebagai kode dari Mamanya agar Papanya tetap tenang.
Tidak Mona sadari bahwa Papanya dan pria yang tampak seumuran dengan Papanya tersebut sama-sama mengeratkan rahang diikuti dengan tatapan yang sama-sama menajam.
Setelah sekian lama tidak bertemu musuh semasa sekolah, hari ini kedua pria yang sudah dewasa itu dipertemukan dalam situasi yang sialnya juga tidak bersahabat.
Karel bingung, mengapa rasanya takdir sengaja sekali membuat permusuhan mereka harus diingat sampai mati?
"Ngapain ke sini?" tanya pria itu dengan nada datar.
"Ini rumah Albiru?" tanya Casia mewakili, dari genggaman tangan Karel yang semakin mengerat membuatnya paham bahwa suaminya tengah berusaha menahan emosi.
"Ada tamu, ya?" Wanita yang bernama Jingga itu mematung di belakang suaminya, Nevan."Casia, Karel?"
Walau sudah tidak pernah bertemu selama belasan tahun, mereka tidak lupa dengan wajah-wajah yang pernah menghiasi masa sekolah mereka dulu.
Hubungan Karel dan Nevan pernah begitu akur sebelum tidak pernah akur saat mulai duduk di bangku SMA, pernah bersahabat sebelum akhirnya bermusuhan sampai detik ini.
Jika ditanya mengapa, mereka berdua bermusuhan dengan alasan yang sebetulnya remeh, permasalahan biasa yang dihadapi dua remaja laki-laki.
Tapi nyatanya permusuhan mereka tidak berakhir begitu saja, hubungan tidak akur itu seolah ditarik sampai ke masa perkuliahan bahkan sampai detik ini belum ada kata damai diantara mereka.
Casia berdehem untuk menghilangkan kecanggungan. "Ini benar rumahnya Albiru?"
Menunduk, Casia berharap bahwa kedua orang di depannya kompak menjawab tidak. Jika sampai iya, Casia bisa menebak apa yang akan terjadi setelahnya.
"Albiru itu anak saya."
Suara datar dan kaku yang keluar dari mulut Nevan membuat jantung Casia mencelos dari tempatnya. Tepat di detik berikutnya seperti yang Casia tebak, Karel menerjang tubuh Nevan dan memberikannya pukulan tanpa ampun.
Mona mematung melihat hal itu, berbeda dengan kedua wanita yang tampak panik berusaha memisahkan keduanya.
"Brengsek!" umpat Karel. "Anak sama Ayah sama-sama brengsek!"
Mendengar itu, jelas Nevan semakin tidak terima. "Maksudnya apa?!"
Mona kesulitan menelan ludahnya menatap pertarungan kedua pria dewasa itu, mereka seolah melupakan umur dan tampak masih sangat pandai dalam membela diri masing-masing.
"Mama, pisahin!" jerit Mona pada Casia, dia tidak sanggup melihat Papanya beberapa kali terkena pukulan pria yang menjadi lawannya.
Casia menatap Jingga, mereka berdua menghela napas saat di masa tua kembali dihadapkan pada kondisi seperti ini.
"Udah!" Jingga berusaha menarik tubuh Nevan tapi tidak berhasil.
Mona hampir menangis menatap kondisi Papanya. "Papa, udah!" teriak Mona sambil mencoba membantu dua wanita itu.
"Albiru, bantuin Mama!" teriak Jingga, berharap bahwa putra satu-satunya yang dia miliki segera bangun dan berguna di situasi ini.
"Mona, panggil satpam di depan!" titah Casia hingga membuat Mona segera melakukan hal sesuai perintah Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almont
Teen FictionKesalahan pada suatu malam menyeret dua remaja itu dalam ikatan pernikahan yang menjadi garis awal menuju kerumitan-kerumitan lainnya. Mengenai sosok yang selalu terlihat, suara yang selalu terdengar, aroma tubuh yang mampu terhirup, kulit yang pern...