"Mona!!"
Tok! Tok! Tok!
Ketukan tidak sabar diikuti terikan seorang pria dari arah pintu utama membuat perempuan yang sudah mengenakan seragam lengkapnya beringsut ke belakang tubuh Albiru.
"Mati gue!" keluh perempuan itu kala pagi-pagi seperti ini mendengar suara Karel di depan rumahnya dan Albiru.
Albiru berbalik, menatap Mona sebelum mengarahkan sebuah handuk untuk mengompres pipi perempuan itu. "Lanjutin kompres sambil sarapan, biar gue yang ke depan."
Mona menggeleng tidak setuju dengan perintah tersebut. "Lo bisa dipukulin."
"Nggak takut," jawab Albiru tenang.
"Dimaki-maki juga."
Albiru tersenyum kecil, dia sudah terbiasa dengan hal-hal menyakitkan seperti itu. Tidak sulit untuknya menghadapi orang-orang seperti Karel, mertuanya itu memiliki sifat yang sedikit mirip dengan Papanya sendiri.
"Mona! Papa tau kalau kamu ada di sini!"
Baru saja membuka pintu, Karel menerjang tubuh Albiru kemudian memberikan pukulan bertubi-tubi pada wajah dan perutnya.
"Brengsek!" umpat Karel kencang. "Berani-beraninya kamu ngajarin anak saya kabur!!"
"Papa!!" bentak Mona sambil berusaha menarik tubuh Papanya agar menjauh dari Albiru. "Mona sendiri yang pengen ke sini!"
Mona kesal sekali, harusnya Albiru bisa melawan Papanya dengan mudah. Tapi sialnya laki-laki itu diam saja, Albiru itu terlalu kasihan pada orang tua.
Menjauh, Karel menatap marah pada putrinya. "Jadi sekarang kamu bela dia?!"
"Mona nggak ngebela siapa-siapa, Mona cuma bicara masalah fakta!"
Karel tersenyum sinis, otak putrinya mungkin sudah dipengaruhi oleh laki-laki sialan itu. Rasa benci semakin bergumul di dalam hatinya, menyesal telah membiarkan Mona menikah dengan laki-laki tidak berguna seperti Albiru.
Memperhatikan rumah itu, Karel tersenyum meremehkan. "Ini tempat tinggal yang bisa kamu berikan untuk putri saya?"
"Setidaknya masih nyaman," balas Albiru yang tidak suka direndahkan seperti itu.
Albiru tahu kalau dia belum punya apa-apa, tapi merendahkan seperti itu juga tidak bisa dibenarkan.
"Mona, kamu mau tinggal di tempat seperti ini?" tanya Karel pada putrinya yang diam saja.
Melihat itu, Karel jadi semakin yakin bahwa putrinya yang lahir dan dibesarkan tanpa kekurangan apa pun tidak akan tahan tinggal dengan laki-laki tidak berguna itu.
"Mau pulang sama Papa?" tawar Karel manis, sengaja ingin menunjukkan bahwa dia jauh lebih baik dalam hal membahagiakan Mona.
Tawaran tersebut mendapat gelengan lemah dari Mona. "Mona mau di sini sama Al."
Mengontrol ekspresi terkejutnya, jawaban Mona sungguh di luar ekspektasi Karel. Dia menatap tidak percaya pada Mona yang menunduk. "Papa tau kalau kamu nggak yakin."
"Mona yakin, mending Papa pulang."
Karel menyentuh pundak Mona, menarik dagu putrinya agar mau menatapnya. "Papa nggak akan biarin kamu hidup susah di sini! Kamu pikir gampang buat Papa lihat kamu hidup susah setelah mati-matian Papa besarin kamu dengan penuh perjuangan?!"
Mungkin semua orang tua khususnya Ayah akan berpikir seperti Karel jika melihat putri mereka hidup susah dengan teman hidupnya. Tapi semuanya tidak bisa di samaratakan, sudut pandang orang berbeda-beda mengenai hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almont
JugendliteraturKesalahan pada suatu malam menyeret dua remaja itu dalam ikatan pernikahan yang menjadi garis awal menuju kerumitan-kerumitan lainnya. Mengenai sosok yang selalu terlihat, suara yang selalu terdengar, aroma tubuh yang mampu terhirup, kulit yang pern...