"Kamu tidak ada apa-apanya tanpa Papa." Paul berbicara dengan nada sombongnya seperti biasa.
"Saya tetap tidak mau menyerahkan mereka pada Anda." Di depan sebuah ruangan rawat rumah sakit, Nevan berkata begitu tegasnya untuk menolak segala rencana licik yang mampu dia tebak dari laki-laki tua itu.
Paul tersenyum sinis. "Papa perjelas sekali lagi, kamu lemah tanpa Papa."
Bermusuhan dan memilih keluar dari tekanan yang Paul berikan nyatanya tidak mudah untuk Nevan jalani. Begitu banyak ancaman berbahaya yang sewaktu-waktu bisa saja terwujud.
Sungguh Nevan tidak apa-apa jika harus hidup miskin karena tidak mendapat sepeserpun kekayaan Papanya, dia bisa membangun usahanya sendiri tanpa bantuan laki-laki itu.
Tapi di sini masalahnya, Paul akan semakin gencar berusaha mengambil putra-putranya yang dikemudian hari akan dijadikan pewaris segala kekayaan yang dia punya.
"Silakan pergi, saya tidak tertarik dengan apa pun." Nevan masih berusaha tenang. "Saya tidak perlu harta apa pun dari Anda, keluarga kecil saya sudah lebih dari cukup."
Nevan menceritakan masa lalunya pada Karel, begitu mudah karena semasa sekolah mereka juga pernah menjadi teman baik selama bertahun-tahun lamanya. Berbagi kisah seperti ini sudah hal biasa untuk mereka lalui dahulu.
Menarik ujung kemeja putih yang digunakan, Nevan memperlihatkan bekas jahitan memanjang di sisi kiri perutnya. Luka ini yang pernah hampir membunuhnya kala itu.
Beberapa hari setelah Jingga koma, tidak sehari pun Nevan lewati untuk menjenguk istrinya. Tentu juga mengajak kedua putranya yang masih begitu kecil, Albiru dan Algara, dengan harapan besar kehadiran dua makhluk manis itu mampu segera menyadarkan istrinya.
Minggu ke dua di bulan Juni, jalanan malam itu begitu sepi dan tampak licin sebab beberapa jam sebelumnya hujan mengguyur kota. Bersama dua putranya, Nevan menyusuri jalan hendak mencari taksi yang akan membawa mereka pulang.
Duduk di salah satu kursi besi, netra gelap Nevan menatap lembut Albiru dan Algara yang sama sekali tidak merepotkannya. Keduanya seolah begitu paham bahwa kondisi Nevan dan Jingga tidak baik-baik saja.
"Maaf, ya?" Berusaha melindungi putranya dari rintik air hujan halus, mata Nevan masih mencari-cari taksi yang rasanya tidak akan lewat di jalanan ini.
Memutuskan untuk memulai hidupnya dari bawah memang tidak mudah untuk Nevan yang terlahir berkecukupan. Tapi ini jauh lebih baik daripada menyerahkan kedua putranya dan menjalani kehidupan penuh tekanan dengan Paul.
"Itu orangnya!"
Mendengar suara dari jarak beberapa meter, mata Nevan membulat melihat beberapa orang berpakaian hitam mulai mendekatinya, lengkap dengan senjata tajam yang sudah Nevan ketahui fungsinya untuk apa.
Belum sempat menghindar, seseorang menggendong Algara dan membawanya semakin menjauh dari Nevan.
"Algara!" teriak Nevan, hendak mengejar orang itu namun tubuhnya ditahan sebelum sebuah sabetan panjang menembus baju tipis yang dia kenakan.
Nevan limbung di atas basahnya trotoar jalan, matanya memanas merasakan sakit yang luar biasa di tubuhnya.
Masih begitu sadar, Nevan bisa merasakan cahaya singkat seolah menangkap gambar dirinya bersamaan dengan derap langkah tergesa berjalan menjauhinya.
"Algara...." gumamnya pelan, tidak dia sangka akan sesulit ini.
Bibirnya merintih kesakitan, meminta pertolongan hanya sia-sia saja. Terkapar bersimbah darah, pandangan Nevan memburam seolah telah pasrah pada kehidupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almont
Teen FictionKesalahan pada suatu malam menyeret dua remaja itu dalam ikatan pernikahan yang menjadi garis awal menuju kerumitan-kerumitan lainnya. Mengenai sosok yang selalu terlihat, suara yang selalu terdengar, aroma tubuh yang mampu terhirup, kulit yang pern...