Hanya berselang tujuh hari setelah pengumpulan surat persetujuan orang tua, siswa/siswi kelas sebelas sudah berkumpul di halaman sekolah untuk menunggu arahan lebih lanjut mengenai bus yang akan membawa mereka ke campground.
"Lo mau camping atau liburan?" tanya Zil setelah mati-matian berusaha menahan tawa karena melihat Ivona berlari mendekati mereka sambil menarik sebuah koper berwarna merah menyala.
Ivona mencebik, dari depan gerbang sampai ke depan teman-temannya dia selalu mendapat ledekan. Ini pertama kalinya untuk Ivona, sungguh dia tidak mengerti apa yang harus dia persiapkan.
Kemarin malam dia minta bantuan pada Mamanya, katanya Ivona harus membawa sebuah koper. Sebelumnya Ivona begitu percaya pada Mamanya, tapi setelah ini mungkin perlu dipertimbangkan lagi, dia merasa telah dipermainkan.
"Harusnya bawa apa aja, sih?" tanya Ivona sambil memperhatikan teman-temannya yang lain.
Zil menarik Mona hingga mereka berdua memunggungi Ivona, tujuannya untuk memperlihatkan sesuatu di punggung mereka.
"Backpack aja cukup," ucap Zil pada Ivona.
Ivona menghela napas, dia benar-benar payah dalam masalah seperti ini. Ingin pulang, tapi waktunya tidak akan cukup.
"Nggak apa-apa," ucap Mona berusaha menenangkan Ivona walau dia juga ingin menertawakan perempuan itu. "Kegiatannya santai-santai aja kok di campground."
Zil meledakkan tawanya menatap wajah pucat Ivona. "Kalau nanti ada hiking, itu koper harus lo gotong sendiri"
"Mona...." rengek Ivona ingin meminta pembelaan kala Zil meledeknya.
Mona berdecak, dia mencubit pelan pinggang Zil. "Diem, nanti dia berisik."
Mendengar jawaban Mona, Ivona semakin memberengut kesal. Kakinya menendang-nendang koper sialan yang menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
"Ivona!!"
Teriakan seorang laki-laki membuat ketiganya kompak menoleh ke asal suara. Di dekat sebuah bus, Yetta dan Ryota terang-terangan menertawakan Ivona.
"Lo mau liburan kemana?" tanya Yetta dengan nada meledek.
"Lombok, mau ikut?!" balas Ivona kesal. Jawabannya justru membuat semakin banyak orang menertawakannya, sialan!
Mengabaikan kegaduhan itu, Mona sedikit menjauh untuk mengangkat telepon dari Mamanya. Lima menit berusaha menangani kebawelan Casia, Mona kembali saat teman-temannya mulai memasukkan barang-barang ke dalam bagasi bus.
Dia sudah berdebat cukup panjang dengan orang tuanya yang sebenarnya tidak mengizinkan Mona ikut. Karel dan Casia takut terjadi sesuatu pada Mona, apalagi Mona sekarang sedang hamil muda.
Tapi saat Karel menelepon Bu Sus dan mendengarkan rangkaian kegiatan dari guru itu, dengan terpaksa Karel mengizinkan Mona daripada putrinya semakin sedih.
Dari jarak beberapa meter, Albiru dan Elang sama-sama memperhatikan gerak-gerik Mona sebelum kedua laki-laki itu menyadari bahwa mereka berdua menatap objek yang sama.
Tatapan keduanya sama-sama menajam, seolah punya dendam walau tidak beralasan. Jika saja Edwin tidak menarik Albiru untuk segera masuk ke dalam bus, mungkin pertengkaran tidak dapat terhindarkan dari dua remaja laki-laki yang memang tidak pernah akur.
Satu persatu bus yang terparkir di halaman luas sekolah tersebut akhirnya melaju dengan kecepatan sedang. Meninggalkan siswa/siswi kelas sepuluh yang iri dan tidak sabar menunggu giliran mereka saat kelas sebelas nanti, serta siswa/siswi kelas dua belas yang sibuk bernostalgia mengingat pengalaman mereka sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almont
Ficção AdolescenteKesalahan pada suatu malam menyeret dua remaja itu dalam ikatan pernikahan yang menjadi garis awal menuju kerumitan-kerumitan lainnya. Mengenai sosok yang selalu terlihat, suara yang selalu terdengar, aroma tubuh yang mampu terhirup, kulit yang pern...