Mengintip dari jendela, Mona mendengus menatap anjing itu masih setia berdiri di depan pagar rumahnya. Mungkin masih dendam karena belum bisa mencabik salah satu dari mereka.
"Anjing gila!" cibir Mona.
"Beraninya pas udah jauh, tadi nangis." Albiru yang duduk di meja makan tertawa saat mengingat kejadian satu jam yang lalu.
Mona mematikan televisi dan lampu ruang tamu sebelum menarik laki-laki itu ke dalam kamar. "Emang lo nggak takut?"
"Apa yang perlu ditakutin? Anjingnya nggak ngapa-ngapain," jawab Albiru santai setelah menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
"Nggak ngapa-ngapain kata lo?" Mona juga ikut membaringkan tubuhnya di sebelah Albiru. "Anjing itu ngejar kita kayak lagi kesetanan!"
Albiru memosisikan dirinya menyamping untuk menatap Mona, begitupun perempuan itu. Dia mengulas senyum tipis sambil memain-mainkan hidung perempuan itu.
"Cuma mau main kejar-kejaran."
Mona berdecak kesal sebelum menghentikan pergerakan tangan Albiru. "Malam ini jangan ke rumah Kakek!"
"Iya." Menarik pinggang Mona hingga tubuh keduanya semakin mendekat, Albiru menatap dalam mata perempuan itu.
"Boleh tanya sesuatu?" tanya Albiru mulai serius.
Mona tidak menjawab, namun menatap dengan pandangan penuh tanya.
"Perasaan lo sama gue gimana?"
Pertanyaan yang terdengar lembut dan penuh harap itu membuat darah Mona berdesir, jantungnya berdegup tidak terkendali diikuti rasa panas yang menjalar di pipi merahnya.
"Lo sendiri gimana?" Mona balik bertanya, dia terlalu takut sakit hati jika mengutarakan mengenai perasaannya.
Albiru menghela napas, pandangannya yang semula teduh berubah menjadi penuh luka. "Lo harus tau kalau gue naruh harapan besar sama lo."
Perempuan itu diam berusaha mencerna dengan baik kalimat yang keluar dari bibir Albiru. "Maksudnya?"
Laki-laki itu menggeleng. "Gue benci sama lo."
Mona mematung, tidak sadar dia meremas selimut yang menutupi setengah tubuh mereka.
"Dulu ... sebelum gue merasa kalau lo orang asing yang nganggep gue ada."
"Jadi?" Mona memandang mata laki-laki itu, berusaha mencari sebuah kebohongan pada tatapan lemahnya.
Laki-laki itu diam, semenit hanya suara detik jam yang masuk ke telinga mereka berdua.
"Kalau gue bilang cinta, apa lo percaya?"
Mengingat bagaimana pengkhianatan laki-laki itu, tentu saja Mona menggeleng tanpa ragu. "Nggak, Al!"
"Dimana cintanya?" tanya Mona karena merasa bahwa apa yang Albiru ucapkan justru semakin menghancurkannya.
Laki-laki itu menyentuh pipi Mona, mengusap-usapnya lembut sebelum bibirnya mengulas senyum tipis. "Lo nggak bisa lihat?"
Mona menggeleng.
Jawaban itu cukup menyakiti Albiru, apa yang selama ini dia lakukan belum cukup untuk membuat Mona paham mengenai perasaannya?
Menyembunyikan kecewanya, Albiru mengangguk-angguk kecil. "Lo nggak bisa lihat, tapi lo bisa rasain."
Kalimat itu membuat Mona bungkam, sekarang dia bimbang. Sebenernya permainan apa yang sedang laki-laki ini susun?
Mona tidak bisa mengatur dirinya untuk tidak jatuh cinta, tapi Mona juga tidak ingin jatuh sendirian.
"Jangan bilang gini kalau nanti lo ngecewain gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Almont
Teen FictionKesalahan pada suatu malam menyeret dua remaja itu dalam ikatan pernikahan yang menjadi garis awal menuju kerumitan-kerumitan lainnya. Mengenai sosok yang selalu terlihat, suara yang selalu terdengar, aroma tubuh yang mampu terhirup, kulit yang pern...