Terhitung tiga bulan setelah kejadian itu, kondisi Algara sudah jauh lebih baik. Algara dan Mona memutuskan untuk tinggal di rumah Jingga, rumah tempat wanita itu dibesarkan dan peninggalan kedua orang tuanya. Bukan hanya mereka, bahkan Albiru dan Fay juga ada di sana.
Paul ingin memboyong mereka semua tinggal di rumahnya, namun Jingga menolak keras hal itu karena satu dan lain hal. Tidak tahu saja, sikap Jingga yang seperti itu membuat Paul berusaha merencanakan sesuatu. Sesuatu seperti merusak hubungan antara Ibu dan anak contohnya.
Baru pulang dari sekolah, laki-laki dengan balutan seragam acak-acakan itu melihat Mona dan Fay yang berdebat di ruang tamu. Algara menghela napasnya, kadang-kadang mereka berdua memang sulit sekali untuk akur.
"Belajar, bego!" Fay memukul kepala Mona dengan sebuah buku yang cukup tebal.
Mereka berdua memang sudah homeschooling bersama mengingat perut keduanya sudah sama-sama membuncit. Kehamilan Fay sebentar lagi akan memasuki trimester ketiga, sedangkan Mona masih di trimester kedua.
"Gue udah pintar," sahut Mona cuek sembari memakan buahnya, dia benar-benar bosan belajar dalam rumah seperti ini.
Jika saja tidak terjebak dalam kesalahan, mungkin Mona masih bisa berlari di halaman sekolah, tertidur di bangkunya saat guru-guru menjelaskan materi dengan nada yang mendayu, menghabiskan waktu istirahat di dalam kantin, dan yang paling dia rindukan adalah kegaduhan teman-temannya.
Sesuatu yang tidak mungkin terulang sialnya terenggut paksa dalam hidupnya. Jika bisa berteriak pada setiap perempuan di muka bumi, Mona akan memberi tahu bahwa pernikahan dini apalagi hamil di usia yang tidak seharusnya rasanya jauh dari kata menyenangkan.
Fay berdecak sebal. "Beberapa tahun lagi gue nggak mau ngajarin anak lo!"
"Siapa yang nyuruh lo buat ngajarin anak gue?" Mona melempar tanya dengan nada sewot.
Perempuan yang ditanya sibuk mencoret-coret rumus matematika di bukunya. "Anak lo 'kan punya emak tolol, pasti gue yang dicari buat bantu bikin tugas."
Meletakkan mangkuk buahnya agak kasar, Mona cukup terpancing emosi mendengar pernyataan itu. "Menurut lo kita bakal serumah selama-lamanya?"
"Nggak!" jawab Fay cepat, dia tidak akan mau hal itu terjadi.
"Gue juga ogah tinggal bareng lo ... anak kita nggak bakal temenan, bisa tercemar otak anak gue."
Melempar salah satu buku tulisnya ke arah Mona, Fay mendengus. "Kayaknya anak kita cuma beda dua atau tiga bulan, besok pasti satu sekolah."
"Nggak akan!" jawab Mona cepat. "Gue nggak akan biarin anak lo nyentuh seinci pun anak gue."
Merasa calon anaknya sedang direndahkan, Fay menggulung lengan pakaiannya ke atas. "Sini ribut sama gue!!"
"Nanti nangis terus ngadu sama Mama." Mona mengungkit-ungkit pertengkaran mereka Minggu lalu yang dimenangkan oleh Mona karena baru lima menit saling jambak, Fay justru menangis dan mengadu pada Jingga. "Males lawan cewek lemah."
"Lo?!" Wajah Fay merah padam, malu sekaligus bercampur marah. "Jang—"
"Fay, Mona!!" Suara Jingga dari dapur menginterupsi keduanya hingga diam, mereka sangat segan pada Jingga. "Mama nggak mau denger ada ribut-ribut lagi, ya!"
Yang Jingga khawatirkan, apa mereka berdua siap menjadi Ibu sedangkan mereka sering berdebat karena hal-hal kecil? Mental mereka rasanya masih belum cukup untuk melewati itu. Sebenarnya Jingga juga kesal dengan kedua putranya. Kenapa bisa mereka berdua bertingkah di luar batas, sama-sama menghamili anak orang padahal jelas-jelas keduanya belum cukup dalam segala hal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almont
Teen FictionKesalahan pada suatu malam menyeret dua remaja itu dalam ikatan pernikahan yang menjadi garis awal menuju kerumitan-kerumitan lainnya. Mengenai sosok yang selalu terlihat, suara yang selalu terdengar, aroma tubuh yang mampu terhirup, kulit yang pern...