"Nanti gue mau ke Dokter kandungan, lo mau nemenin nggak?" tanya Mona saat keduanya baru sampai di rumah.
"Nggak bisa, gue ada urusan."
Mona melepaskan sepatunya sebelum dia letakkan di rak sepatu yang ada di dekat pintu. "Penting banget?"
"Hm."
"Lebih penting dari ngeliat perkembangan anak kita?"
Laki-laki itu menghela napas berat, dia sedang lelah dan tidak ingin berdebat hari ini. "Kalau besok aja gimana?"
Mona menggeleng tidak setuju. "Gue pergi sendiri."
Melihat perempuan itu berjalan melewatinya begitu saja, Albiru memejamkan matanya untuk menahan kesal. Dia mengekor di belakang Mona, duduk di atas ranjang dan memperhatikan perempuan tersebut melepas seragam sekolah yang menyisakan celana pendek dan tanktop berwarna putih.
Mona memang sudah tidak malu dengan hal ini. Menurutnya, Albiru sudah dua kali melihat tubuhnya tanpa sehelai benang.
"Lo mau ke rumah sakit yang mana?"
Pertanyaan Albiru tidak mendapat jawaban, perempuan itu justru meraih handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk sekedar menyegarkan tubuhnya.
Daripada semakin memperkeruh keadaan dan membuang-buang waktu, laki-laki itu memilih mengganti seragamnya karena sebentar lagi dia harus ke rumah Kakeknya.
"Gue pergi sekarang!" Albiru mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. "Nanti gue temenin ke Dokter, tungguin sebentar!"
"Iya!" balas Mona setelah mematikan keran airnya.
"Jangan pergi sendiri, tungguin gue pulang!"
Tiga puluh menit kemudian Mona telah rapi, dia duduk di sofa sambil menunggu Albiru pulang. Yang katanya sebentar itu bahkan sampai dua jam lamanya tidak kunjung kembali.
Hingga dengan kesal Mona meraih ponsel dan sling bag sebelum dia memutuskan untuk pergi sendiri. Tidak lupa mengunci pintu, Mona segera masuk ke dalam taksi yang sudah dia pesan sebelumnya.
***
Menunduk di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya, Mona sedikit bosan sebab tidak ada teman bicara. Untungnya masih ada Ivona dan Zil yang merespon cepat setiap pesan yang dia kirim.
Beberapa kali melakukan pemeriksaan terhadap perkembangan janinnya, biasanya Mona akan ditemani Casia. Tapi untuk saat ini sudah tidak memungkinkan lagi.
Dia tahu kalau Mamanya tidak marah seperti Papanya, tapi tetap saja Mona malu jika harus meminta Casia menemaninya dalam situasi seperti ini.
"Biru, ini beneran anak kita?"
Dengan cepat Mona mendongak menatap pasangan yang berjalan melewatinya. Laki-laki dan perempuan itu tampak tidak sadar dengan kehadirannya di sini.
"Anak kita?" tanya Mona masih sedikit tidak percaya, dia masih meyakinkan dirinya bahwa tadi hanya salah dengar.
Matanya menatap Albiru dan perempuan yang pernah bertemu dengannya saat membeli susu kehamilan. Perempuan berperut buncit itu tampak memperlihatkan hasil USG kepada laki-laki yang merangkul pinggangnya posesif.
Tidak malu dengan sekelilingnya, perempuan bernama Fay itu mengecup singkat pipi Albiru, menghadirkan senyum manis dari laki-laki yang kini mengacak-acak gemas rambut Fay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almont
Teen FictionKesalahan pada suatu malam menyeret dua remaja itu dalam ikatan pernikahan yang menjadi garis awal menuju kerumitan-kerumitan lainnya. Mengenai sosok yang selalu terlihat, suara yang selalu terdengar, aroma tubuh yang mampu terhirup, kulit yang pern...