41. Togetherness

6.3K 489 75
                                    

Merasakan kecupan beruntun di seluruh wajahnya, tangan Mona bergerak naik menarik selimut untuk menutupi setengah wajah. Berharap seseorang itu menghentikan aksinya walau sia-sia saja.

Dengan mata yang masih terpejam, Mona bisa tahu siapa pelaku yang menganggu tidurnya. Hanya dengan aroma, Mona bisa mengenali orang itu.

"Wake up, Princess."

Dikecup pada kening, Mona membuka matanya diikuti oleh senyum yang terbit sempura di bibir merona perempuan itu.

"Apa?" tanyanya malu-malu.

Laki-laki itu tidak menjawab, justru mengulas senyum manisnya hingga Mona terpaksa menutup wajah dengan bantal. Bodoh sekali karena telah menyia-nyiakan kesempatan memandang wajah sempurna Algara, tapi sungguh dia tidak bisa ditatap seperti itu.

"Jangan ditutup!" Algara menarik bantal itu.

"Sejak kapan lo pulang?" tanya Mona berusaha biasa saja.

Algara tidak merespon, laki-laki itu justru menarik Mona untuk bangkit dan segera ke luar kamar mereka.

Jam baru menunjukkan pukul sebelas siang, tapi Algara sudah berada di rumah lengkap dengan seragam acak-acakan. Mona tebak, laki-laki itu membolos pelajaran.

"Bolos lagi?"

Merasa diintimidasi, Algara tersenyum cerah sebagai jawab. "Yang terakhir, Bunda."

"Najis," balas Mona cepat kemudian membuang muka. Algara selalu senang menggodanya seperti itu.

Algara mencubit gemas hidung perempuan itu hingga sang pemilik hidung sedikit meringis. "Janji yang terakhir."

"Al, lo itu ud—"

"Gue mau ambil piring."

Melihat laki-laki itu pergi begitu saja ke arah dapur, Mona menghela napas lelah. Bukan maksudnya untuk terlalu mengatur, tapi bukankah Algara tidak seharusnya bersikap begitu?

Terlebih sekarang tanggung jawab mereka telah berubah, tidak ada lagi kata main-main dalam setiap hal.

Duduk tenang di salah satu kursi, Mona memperhatikan gerak-gerik Algara memindahkan makanan yang dibelinya ke atas piring. Setelah itu dicicipi satu-satu olehnya untuk memastikan rasa.

"Tadi gue lupa pesan yang pedas atau nggak," ucapnya menjelaskan.

Mendorong salah satu mangkuk berisi soto ayam, tak lupa Algara menyerahkan satu sendok baru untuk perempuan itu. "Yang ini lo bisa makan."

Diperlakukan begitu, Mona mengulum senyumnya. Laki-laki itu selalu ingat bahwa Mona tidak boleh makan makanan yang terlalu pedas.

Sebelum fokus pada makan siangnya, Mona terpikirkan oleh sesuatu. "Al."

"Hm?"

"Maaf kalau gue selalu ngerepotin, besok-besok lo nggak perlu bolos cuma buat makan siang bareng gue."

Laki-laki itu menggeleng sebagai jawab. "Emang gue ngeluh?"

Memberikan sepotong kerupuk udang pada perempuan itu, Algara menahan senyumnya. "Makan di kantin sekolah nggak enak kalau nggak ada lo."

"Jangan sampai mulut lo gue siram pake kuah soto, ya?" ancam Mona, sejujurnya untuk menyembunyikan salah tingkahnya.

Bukan tanpa alasan Algara selalu melakukan hal ini, dia hanya tidak ingin Mona selalu merasa sendiri. Kebersamaan begitu berharga, bahkan sekedar percakapan ringan di atas meja makan.

Tersenyum tipis, Algara kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut. "Gimana tadi belajarnya?"

"Nggak seru," jawab Mona jujur. "Tapi lebih baik daripada gue nggak belajar sama sekali."

AlmontTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang