Mona menggeliat pelan sebab suara ketukan pintu yang tidak berhenti-henti sekitar beberapa detik. Dia melirik jam yang menempel di dinding kamar, sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Seketika perempuan itu bangkit dari duduknya, dia bisa telat sekolah kalau begini.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan tersebut kembali terdengar hingga membuat Mona menggerutu. Dia mengikat asal rambutnya sebelum berjalan tergesa menuju pintu utama. Siapa orang gila yang bertamu pagi-pagi seperti ini?
Memutar kunci dengan terburu-buru, Mona kesal sendiri karena seseorang itu mengetuk semakin tidak sabar. "Sab—"
"Al?" Mata Mona membulat melihat penampilan laki-laki itu.
Seragam sekolah yang harusnya bersih tampak bernoda coklat dan merah di beberapa titik. Noda tersebut ada karena darah luka di tubuhnya yang mungkin bercampur tanah.
"Lo kenapa?" tanya Mona khawatir.
Bagian menyebalkannya, Albiru justru tersenyum tipis. "Jatuh."
Menarik pelan lengan laki-laki itu untuk masuk dan memerintahkannya duduk di atas sofa. Mona berlari ke kamarnya, seingatnya ada kotak obat di laci nakas saat dia mengobrak-abrik isi rumah ini.
"Jatuh dimana?" tanya Mona setelah duduk di sebelah Albiru.
"Di jalan."
Mona berdecak sebal mendengar jawaban tidak lengkap itu. Daripada ribut, Mona memilih ke dapur. Terhitung satu menit kemudian perempuan itu kembali membawa sebaskom air, lengkap dengan handuk kecil yang akan dia gunakan untuk membersihkan luka Albiru.
Memeras kain putih itu, tangan Mona bergetar saat mendekatkannya ke wajah Albiru. "Apa kita ke Dokter aja?" tanya Mona yang sebenarnya takut melihat luka-luka itu.
Albiru menggeleng, laki-laki itu mengambil alih handuk basah kemudian mengusapkan ke pipinya terlebih dahulu sebab luka di pelipisnya yang masih menganga menyebabkan darah segar itu mengalir sampai ke pipi dan lehernya.
"Ini kena apa?" tanya Mona sambil menunjuk luka panjang di lengan laki-laki itu.
"Nggak tau," jawab Albiru berbohong.
Dia tidak jatuh, melainkan diserang oleh orang suruhan Papanya. Nevan sudah tahu mengenai semua rahasia yang disembunyikan dengan Paul, kehidupannya sebentar lagi mungkin tidak akan tenang sebab Papanya sendiri.
Atau lebih parahnya, dia bisa mati di tangan Nevan.
Meringis pelan, Albiru berusaha terlihat baik-baik saja di depan perempuan itu. "Kenapa belum siap sekolah?" tanya Albiru setelah selesai dengan urusan luka-lukanya.
Mona menggeleng, dia justru mendekatkan dirinya dengan Albiru. Pergerakan tiba-tiba itu tentu saja membuat laki-laki seperti Albiru menegang kaku. "Mau apa?" tanyanya curiga.
Perempuan itu tidak menjawab, tangannya bergerak menyentuh kancing seragam Albiru hingga laki-laki itu menahan tangan Mona. "Mau apa?!" tanyanya semakin panik, dia tidak mau hilang kendali lagi.
"Seragam lo kotor," ucap Mona pelan.
"Gue bisa buka sendiri!" Albiru menepis tangan Mona dari dadanya.
Mona menggeleng tidak mau, dia mengulum senyumnya melihat ekspresi laki-laki itu. Ini yang Mona sebut dengan permainan. Jika laki-laki itu mempermainkan perasaannya, maka Mona akan melakukan hal yang sama.
Dia akan membuat Albiru terbang sebelum dia campakkan begitu saja.
"Biar gue aja." Mona menggeser tubuhnya semakin dekat lalu dengan cekatan menyentuh kancing paling atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almont
أدب المراهقينKesalahan pada suatu malam menyeret dua remaja itu dalam ikatan pernikahan yang menjadi garis awal menuju kerumitan-kerumitan lainnya. Mengenai sosok yang selalu terlihat, suara yang selalu terdengar, aroma tubuh yang mampu terhirup, kulit yang pern...