4

3K 561 19
                                    

"Saya memberikannya untukmu." setelah nenek Medina ditangani, Raffi tidak langsung pulang. Urusannya dengan Medina belum tuntas.

"Saya tidak membayarmu." serius Raffi mengatakannya. "Uang ini bisa kamu gunakan jika butuh."

Dengan cepat, Medina menulis jawabannya. "Terimakasih. Saya punya uang."  Medina ingin segera pergi dari harapan Raffi.

"Suatu hari pasti kamu akan butuh."

"Saat itu terjadi bukan mass Raffi yang akan saya cari." 

Raffi tahu memberikan uang pada Medina mungkin salah, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya.

"Mas Raffi tidak usah takut. Saya tidak akan menganggu apalagi minta pertanggung jawaban." karena Medina tidak ingin menganggap Raffi manusia. 

Cukup. Medina memasukkan note ke dalam saku celananya.

Terpaksa Raffi menarik tangan Medina. "Saya tahu kamu tidak akan meratap di depan saya. Saya tahu kamu tidak akan melakukannya." karena Raffi sudah melihat hampir dua bulan setelah kejadian itu, tidak pernah sekalipun Medina datang dan menemuinya.

"Tapi kamu butuh uang ini!" 

Berada dalam genggamannya, amplop tersebut melayang seketika dari tangan Medina. Tidak bisakah Raffi melihat jika Medina tidak ingin melihatnya? Kenapa laki-laki itu ingin menambah urusan dengannya?

Medina tidak melihat kemarahan Raffi, dia yang lebih berhak marah untuk saat ini, namun tidak tahu pada siapa dirinya akan melampiaskan. Medina tahu diri.

Langkah Medina kembali membawanya ke ruangan nenek. Lebih baik di sana. Lagipula semua administrasi telah diurus, Medina hanya perlu menjaga neneknya.

Melihat nenek sudah mendapatkan perawatan sedikitnya Medina lega. Ketika di rumah, makan saja neneknya sulit. Selama beberapa tahun ini, tidak ada lagi obrolan keduanya seperti dulu. Nenek yang menasehati, Medina yang menanggapi dengan senyum dan bahasa isyarat.

Dari kaca pintu ruangan perawatan nenek, Raffi memperhatikan Medina. Wanita itu duduk dengan tatapan lurus. Tatapan itu kosong.

Menyesal? Tentu. Padahal saat itu Raffi tidak mabuk. Melihat Medina malam itu di rumahnya, tiba-tiba saja Raffi menginginkan wanita itu. Raffi memaksa, hingga Medina tumbang di atas ranjangnya.

Menyadari kesalahannya, sampai detik ini laki-laki yang telah menikahi putri kepala desa Sukamarga masih ingat betul kejadian tersebut. Raffi sempat berjanji akan bertanggung jawab, tapi saat janjinya belum ditepati, kedua orang tuanya ingin dirinya menikahi wanita lain. Raffi bingung dengan masalahnya.

Kendati belum terlambat menurutnya, Raffi sempat terpikirkan untuk menjadikan Medina istri keduanya. Karena itu ia butuh bicara dengan wanita itu.

Di dalam, Medina tak lagi merenungi nasibnya. Sudah nasibnya terlahir dan besar dalam keadaan seperti itu, mau diapakan lagi?

******

Karena tidak enak, Medina pamit pada neneknya sebentar mengunjungi rumah bu Wira. Medina akan kembali ke rumah sakit sebelum adzan Maghrib. 

Hanya setengah jam waktu perjalanan, jika tidak macet. Karena Medina pergi setelah waktu Ashar, jadinya harus terjebak macet dan tiba di desanya setelah satu jam perjalanan.

Karena acara hajatan digelar besok, sore ini kediaman bu Wira diramaikan oleh tetangga dan sanak saudara. 

Bukan dari depan Medina masuk, melainkan dari belakang. Di sapa tetangganya, wanita itu tersenyum ramah. Berbaur dengan tetangganya, Medina mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan. Dengan bu Wira, Medina belum bertemu, nanti Medina akan mencarinya. Yang pasti Mediana tahu jika bu Wira pasti sedang sibuk.

"Nur, bawakan ini ke ruang tamu," titah bu Kasma pada Medina.

Sebuah nampan yang tidak begitu besar berisi empat gelas air dibawa Medina ke depan. Ada empat orang yang tidak dikenali Medina mungkin tamunya keluarga bu Wira.

Usai mengantar nampan itu, Medina kembali ke dapur. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebelum wanita itu kembali ke rumah sakit.

Tidak ada yang melihat ketika seseorang menarik Medina. Berteriak? Medina tidak bisa melakukan itu.

Medina takut saat mengetahui Raffi-lah yang menarik tangannya. Raut Medina memperingati Raffi agar tidak melakukan hal itu lagi.

"Saya hanya ingin berbicara." Raffi mengambil selembar kertas dan pena.

"Saya mau keluar." cepat Medina menuliskan tanggapannya.

"Dengar dan jawab saya, oke?" bukan hanya Medina. Raffi sendiri takut jika ada yang melihat mereka berduaan di kamar.

Setelah memastikan Medina menurut pada ucapannya, Raffi berbicara.

"Saya telah melakukan kesalahan, dan berjanji akan bertanggung jawab. Kamu ingat kan?"

Medina tidak menjawab. 

"Saya memang telah menikah, dan apakah saya salah jika saya juga menikahimu?"

"Lupakan." Medina meletakan kertas berikut pena yang diberikan Raffi setelah memberikan jawabannya. Bukan ini yang diinginkan Medina. Jauh sebelum akad bersama wanita yang dijodohkan, Medina ingin Raffi memberitahu orang tua. 

Memang Medina tidak bisa memastikan bagaimana masa depan wanita itu setelah mahkotanya direnggut Raffi tapi setidaknya cukup ia yang merasakan kecewa jangan sampai dirinya menyakiti perasaan orang lain, apalagi sesama wanita.

"Nur!"

Medina menghempaskan tangan Raffi. Wanita itu marah. "Sudah cukup mas Raffi membuat saya seperti ini. Cukup saya, jangan terulang lagi."

Dingin wajah Medina menyempurnakan amarahnya. Kali ini bukan di atas meja, melainkan lantai kertas itu dilempar oleh Medina.

"Kamu menolak hari ini, kamu akan menyesal Nur." karena Raffi tidak ingin dihantui rasa bersalahnya. Kendati tidak cinta, Raffi bisa menikahi Medina.

Jikalaupun akan menyesal, Medina tidak akan mengadu, cukup hati yang merasakan. Dari segi apapun yang dilakukan Raffi, Medina tidak siap. Yang dirasakan Medina adalah Raffi telah merampas harga dirinya.

"Saya mohon pikirkanlah." Raffi berharap penuh pada Medina. Tangan Medina berada dalam genggamannya. 

Tidak akan luruh, meski Medina melihat kesungguhan di manik Raffi. Medina belum dewasa tapi ia tahu seperti apa rasa sakit saat diduakan. Wanita itu memang tidak pernah menikah, tapi sakit saat melihat Raffi mengakad wanita lain sementara Raffi telah menyentuhnya.

"Sedang apa kalian?"



Aku tidak bisuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang