Tanpa perlu disuruh, sekalipun oleh orang yang selama ini diseganinya, Medina akan pergi. Harusnya ia sudah berada dalam bus antar provinsi, jika Raffi tidak menahannya.
"Jika Ibu ingin marah, harusnya marahi aku!"
Raffi mengepalkan tangannya. "Aku yang salah. Aku yang memperkosanya, bukankah aku yang seharusnya di usir dari desa ini?"
"Aku yang membuat masa depannya hancur, harusnya aku yang dihakimi warga! Bukan Nur!"
"Istrimu di kamar. Pelankan suaramu!" pak Wira ingin menampar anaknya.
"Ibu memarahinya karena dia tidak bisa membela diri? Karena dia bisu?" Raffi marah, bukan pada orang tuanya, namun pada dirinya sendiri.
"Ibu tahu di akan kemana? Ibu tahu dia tidur di mana malam ini?" sesak saat Raffi memikirkannya.
"Aku ingin menikahinya, kenapa ibu malah ragu dia hamil atau tidak? Apakah harus hamil dulu baru aku bertanggung jawab?!"
"Plak!"
Bukan karena tamparan, Lia istri Raffi keluar. Sejak dari tadi ia mendengar adu mulut antara suami dan mertuanya.
"Kenapa tidak berpikir sebelum menikah?"
"Aku belum menyentuh Lia, Ayah! Sampai saat ini aku masih memikirkan Nur! Aku pernah berjanji, dan ingin menepati janjiku pada Nur!" suara Raffi bergetar dalam emosinya.
Kenyataan bahwa Raffi belum menyentuh Lia bukan sebuah masalah. Itu pribadi mereka, sebagai orang tua yang bertanggung jawab pak Wira berhak menekankan jika tanggung jawab Raffi saat ini adalah pada istrinya. Jika benar Raffi laki-laki baik bukan saat ini tapi sebelum menikahi Lia kalau memang benar ingin bertanggung jawab. Lagipula, pak Wira yakin jika Nur tidak mau menikah dengan Raffi.
"Ke mana Nur akan pergi, Ayah tahu? Siapa yang dia kenal di sini selain neneknya?" Raffi mengkhawatirkannya. "Ibu mengusirnya, bahkan setelah tahu aku yang memperkosanya." untuk pertama kalinya Raffi menangis karena seorang wanita. "Padahal Ibu lebih mengenal Nur, bagaimana dia Ibu lebih tahu."
"Dari semua posisi, Ibu mengerti. Menyuruhnya pergi karena itu lebih baik." bisa dibayangkan bu Wira jika Nur menjadi istri kedua Raffi, Nur akan lebih sakit, bukankah lebih baik mengambil langkah itu?
Bu Wira yakin, jika di sini Nur tidak bahagia di suatu tempat nanti Nur akan baik-baik saja. Sama halnya dengan sang putra, bu Wira juga khawatir. Melihat foto pelukan tadi, seketika saja ia marah.
"Dia sudah pergi. Fokus saja pada istrimu."
Mendengar kalimat sang ayah, emosi Raffi yang memang belum surut kembali mengatakan kalimat yang membuat sang ayah naik pitam. "Bagaimana bisa Ayah bicara seperti itu sementara Ayah lebih tahu Nur dibandingkan Lia! Ayah tahu dia bisu, hidup sendiri! Apakah Ayah akan melakukan hal yang sama jika posisi dibalikkan?"
"Kamu mau menolak takdir?!" mata tajam pak Wira siap menerkam putranya. "Kamu dilahirkan untuk menjadi laki-laki baik, jika pernah salah maka siap-siap saja pada karma!"
Pak Wira bukan orang yang mudah marah. Selama hidupnya, ini adalah kali pertama laki-laki itu se-murka ini dikarenakan ulah sang anak. Bukan tidak kasihan pada Nur, pak Wira akan mencari jalan dan menyuruh orang mencari wanita itu.
Dalam bus, Medina merenungi nasibnya. Bus yang ditumpanginya akan membawa wanita itu ke ibu kota. Malam itu, Medina tidak bisa tidur, matanya menembus gelap malam yang dilalui bus.
Kenangan masa kecil bersama sang nenek, disimpannya sejenak karena Medina sendiri tidak ingin membawa satu-satunya kenangan sedang tujuan hidup saat ini, dirinya belum tahu.
Medina masih polos, namun hatinya secara tidak sadar tengah memaknai arti sebenarnya hidup. Meski tidak gamblang karena masih terlalu sulit mengingat cara hidupnya selama ini.
Menjelang pagi, Medina disapa seseorang. Mami, begitu sebutan untuk wanita itu. Medina menggeleng saat mami mengajaknya turun untuk sarapan. Sekalipun belum ada tujuan, wanita itu tidak mau ketinggalan bus nantinya.
"Makanlah. Siang baru sampai nanti."
Sebungkus nasi, dua botol air mineral dan makanan ringan lainnya terbungkus dalam satu plastik.
"Terimakasih."
Tertegun, saat mami melihat Medina memperlihatkan sebuah note kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku tidak bisu
RomanceNur Medina, siapa wanita bisu itu? Ada yang tahu derita hidupnya? Jika semua orang layak memperlakukannya seperti wanita hina, bagaimana jika saat dia kembali membawa dunia di telapak tangannya? Yakin, akan ada maaf darinya?