9

3.2K 526 30
                                    

Satu minggu tinggal di kediaman mami, Medina belum menemukan hal aneh kecuali kejadian tempo hari. Medina tidak tahu, mungkin cuma orang lewat. Kepolosan Medina membuat wanita itu cepat melupakan kejadian tersebut.

Dengan bi Dijah dan bi Kom, Medina sudah mengenal. Komunikasi dengan wanita dewasa tersebut telah pun terjalin. Baik bi Dijah maupun bi Kom tidak memandang rendah pada keadaan Medina.

Di sana Medina hanya bertugas mencuci piring yang tidak begitu banyak. Jika dipikir-pikir keberadaan pembantu di sana cukup seorang saja. Tidak banyak pekerjaan. Hanya mami yang harus dilayani.

"Dari sekian banyak orang baik, Ibu ketemu Mami," cerita bi Dijah mengenang kembali saat pertama kali ia bertemu mami.

"Waktu itu mami datang ke acara nikahan temannya, tepat di desa Ibu. Jadi ketemu di sana pas lagi Ibu dipukul suami kedua Ibu." bi Dijah masih mengingatnya. "Nah mami yang nolongin waktu itu hingga saya dibawa kemari." bi Dijah hidup seorang diri. Setelah suaminya meninggal wanita itu menikah lagi dengan lelaki ringan tangan dan bi Dijah harus merasakan sakit setiap kali suaminya murka.

Jika kisahnya menyedihkan, kisah bi Dijah lebih tragis. Medina bisa membayangkan bagaimana takutnya bi Dijah saat itu.

Lain lagi dengan bi Kom. Janda dua anak itu harus pergi dari desanya setelah dituduh  sebagai pelakor. Jelas saat itu bi Kom baru saja ditinggal mendiang suaminya dan dituduh menggoda pak RT.

Miris memang. Walaupun tidak dipukul, caci dan hinaan cukup dirasakan bi Kom. 

Hampir sama dengan Medina. Bedanya Medina pergi tidak meninggalkan siapapun, sedang bi Kom harus meninggalkan kedua anaknya pada sang adik.

Siapa yang tahu jalan kehidupan? Tidak ada. Tugas manusia menjalani dan mensyukuri. Bukan mengeluh apalagi memperdebatkan hal mustahil bagi manusia.

"Ibu sudah sepuluh tahun di sini, beda sedikit dengan bi Kom. Semoga kamu juga betah di sini."

Medina menggangguk. Selama ini memang belum ada hal yang membuatnya resah.

"Mami bilang kan jangan keluar dari area dapur dan kamar?"

Lagi Medina mengangguk. Tidak ada tanya dalam benaknya karena memang Medina tidak perlu tahu. 

Kamar yang luas dilengkapi fasilitas yang mewah untuk istirahat, dapur dan halaman yang luas untuk bekerja dan bersantai. Mereka hanya tinggal di sana, tidak bekerja sebagai babu beneran kecuali jika ada tamu besar datang sesekali. Mami benar-benar membantu. Bisa dikatakan mereka memasak untuk sendiri apalagi jika mami keluar kota. 

Selama ini bi Dijah dan bi Kom tahu tempat seperti apa ini. Tapi, selama tidak mengganggu dan mereka dihargai tidak ada yang salah. Apalagi mami yang dengan terbukanya pada mereka mengatakan jika ini sudah profesinya.

Hanya Medina yang belum diberitahu. Mungkin karena usia juga kepolosan wanita itu. Mami ingin Medina betah di tempatnya serta mematuhi perintahnya agar tidak keluar dari area yang telah diberitahukan. Kepada bi Dijah dan bi Kom, mami juga meminta bantuan agar menjaga Medina.

Malam minggu malam yang ditunggu pelanggan tempat Medina tinggal. Keadaan di luar tidak ribut, namun menguras perasaan hingga nurani ikut berteriak jika yang dilakukan oleh mereka tidaklah benar. 

Di kamarnya Medina tidak mengetahui jika di setiap masing-masing kamar yang ada dalam bangunan tersebut terdapat penghuni yang tengah memadu kasih. Medina tidak mendengar suara-suara aneh dalam kamar kedap suara tersebut.

Indomie, sepertinya enak dinikmati malam seperti ini. Keluar dari kamar, Medina menuju ke dapur. Tidak ada siapa-siapa di sana. Mungkin bi Dijah dan bi Kom sedang beristirahat.

Membuka lemari, Medina mengambil satu bungkus indomie. Sementara mendidihkan air, Medina memotong tiga buah cabai rawit dan tomat.

Beberapa saat berlalu seseorang masuk ke dapur. Terkejut, tentu saat melihat wanita muda itu sedang menyiapkan makanan dengan wajah serius dan polos. Penampilan yang sederhana namun membuat seseorang itu tertarik.

Apakah mami memelihara orang lain selain bi Dijah dan bi Kom?

"Siapa dia?"

Mami yang duduk di depan kolam renang tepat di samping tangga rahasia, menoleh.

"Kapan kamu pulang?"

Laki-laki itu tidak perlu menjawab. "Aku melihatnya. Tapi sepertinya bukan anggota di sini."

Mata Mami awas. "Kamu melihatnya di mana?"

"Jadi dia yang baru?"

"Jangan macam-macam!" peringatan mami disambut senyum sinis seseorang yang tak lain adalah lelaki yang melihat Medina di dapur.

"Mami mengenalku."

"Karena itu aku bilang, jangan macam-macam." mami bersungut. "Ratu sudah menunggumu. Elen juga."

"Masih perawan kah?" lelaki itu masih berbicara tentang wanita yang dilihatnya di dapur. "Karena itu mami menjaganya?"

Mami geram. Kenapa dengan lelaki itu? Jika memang benar Medina yang dilihat olehnya, kenapa lelaki itu harus tertarik? Medina tidak memiliki tubuh seperti wanita ideal, mungkin masih dalam pertumbuhan. Lagipula, mami tidak ingin memberikan Medina pada siapapun. Niatnya menolong bukan menodong apalagi menjadikan Medina bagian dari mereka.

"Kabiru Alexander. Kamu punya kuasa memilih wanita manapun. Jangan dia. Kalau kamu masih mau berteman denganku, jangan dia."

Kali pertama seorang mami mempertahankan wanita. "Anakmu?"

Berdecak karena kesal, mami mengiyakan.

"Aku penasaran."

"Dia wanita biasa. Kamu juga sudah melihatnya."

"Karena itu. Yang terlalu biasa kadang menggoda iman."

"Cukup Kabiru!" mami tidak bisa marah pada Kabiru. Lebih baik pergi dari hadapan lelaki itu. Mami ingin memastikan jika Medina baik-baik saja.

-

Aku tidak bisuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang