6

3.1K 559 28
                                    

Jangan lupa voment :)

Keadaan Medina tidak baik-baik saja, tapi wanita itu terlihat gentar di mata tetangganya. Dari proses memandikan jenazah hingga ke pemakaman, Medina kuat. 

Sang nenek meninggal tepat di hari pesta keluarga bu Wira. Sekalipun tidak meriah, acara di sana tetap berlanjut. Medina tidak menunggu, tapi matanya tidak melihat sosok bu Wira di rumahnya.

Banyak tetangga yang ingin menyumbang agar diadakan pengajian selama tujuh malam. Tapi, Medina hanya mau satu malam saja. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. 

Untuk tinggal di desa ini rasanya Medina tidak sanggup lagi. Yang dilakukan Raffi ditambah sikap orang tua laki-laki itu membuat Medina malu. Sekalipun bukan keinginannya, tetap saja Medina malu.

Menunggu tengah malam, Medina pergi. Bukan ingin meninggalkan neneknya sendiri, Medina pergi karena hatinya tidak lagi bisa menerima keadaan di sana.

"Aku tahu kamu mau pergi."

Dalam remang malam itu, dari belakang rumahnya Medina keluar dan terkejut mendengar suara Raffi.

"Nur." tangan Raffi ingin menggapai lengan Medina. "Aku akan menikahimu."

menggeleng, tanda dirinya tidak mau Medina mengeratkan pegangan pada tasnya. Dalam gelap gulita seperti ini, jawabannya tidak akan diketahui Raffi. Dan kali ini, Medina tidak menampakkan rautnya.

"Kita akan menikah Nur." 

Medina menggeleng, matanya menatap lurus pada lelaki yang telah menabur luka pertama di hatinya.

"Jangan pikirkan keluargaku. Aku akan menikahimu."

Lagi, Medina menggeleng. Pada Raffi ia tidak meninggalkan kenangan, namun laki-laki itu sendiri yang merenggut manis dirinya sehingga menyisakan pahit yang tak akan bisa dilupakan.

Ketegasan sikap Medina diakui tak bisa diusik oleh Raffi. Tanpa meminta izin, Raffi menarik Medina ke dalam pelukannya.

"Biarkan seperti ini." Raffi menahan tangisnya. "Sebentar saja," kata Raffi mengeratkan pelukannya.

Raffi tahu sebesar apa kecewa Medina karena sikapnya. Raffi tahu luka hati wanita bisu itu. Meski Medina menolak, laki-laki itu tidak bisa lepas tangan. "Pulang jika kamu takut. Pulang ya Nur."

Raffi tidak tenang, seharian ini ia harus menunggu dengan sabar untuk bertemu Medina. Sama halnya Medina yang menunggu keadaan sepi untuk pergi, Raffi juga menunggu tetangganya lelap untuk bertemu dengan Medina.

Tepuk tangan dari dua orang wanita yang tak lain adalah tante Raffi dan seorang wanita yang dikenal oleh Medina sebagai anggota ibu PKK membuat keduanya terkejut.

"Kamu merayu suami orang?" sinis tanya itu dilontar. Selanjutnya, tante Raffi berteriak. "Istrinya menunggu di rumah, kamu mengundangnya ke sini?!"

"Tante salah paham." Raffi memperingati tantenya. "Jangan menuduh tanpa melihat bukti."

"Berpelukan itu bukan bukti?!" tante Raffi masih berteriak sambil mengacungkan ponsel yang digunakan untuk mengabadikan momen tersebut sebagai bukti.

Karena teriakan tante Raffi tetangga Medina keluar dari rumah karena rasa penasaran mereka pada keributan tengah malam.

"Kamu mencemarkan nama baik desa ini Medina."

Medina menggeleng. Ia tahu ibu Lina selama ini baik padanya. 

"Sudah bisu, gatal! Enggak tahu diri banget sih!"

"Tante!" teguran Raffi tidak digubris.

"Wanita baik-baik itu yang mau menjaga kehormatannya!" tante Raffi mendekati Medina.  Karena geram, ia siap menjambak rambut Medina yang dianggap kotor dan bermuka dua.

"Ada apa ini?" bu Wira datang setelah dipanggil oleh warga desanya.

"Ini. Kalau Mba mau lihat." gambar Medina dan Raffi yang sedang berpelukan membuat bu Wira marah.

"Raffi sudah menikah Nur. Pergi saja. Kasihan istrinya. Pergi saja kamu dari desa kami," titah bu Wira.

Baca di KBM juga yah sudah bab 17 :)

Aku tidak bisuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang