Medina tidak tahu tempat apa itu. Dikatakan rumah tidak terlihat seperti rumah. Bangunan tersebut lebih terlihat sebagai tempat penginapan.
Mengaku tidak memiliki tujuan pada mami yang dikenal saat dalam perjalanan, Medina mau saat ditawarkan bekerja.
"Ini kamarmu." mami membuka pintu kamar yang terletak tidak jauh dari sebuah tangga. "Kamar mandi ada di sana."
Meletakkan tas jinjing dilantai, Medina melihat kamar yang akan dipakai selama tinggal di sini.
Tugas Medina hanya membantu di tempat itu. "Nanti ada bi Dijah dan bi Kom, kamu bisa membantu mereka." kedatangan Medina sudah diberitahukan mami kepada dua pembantunya itu.
"Jangan pernah keluar dari area kamar dan dapurmu."
Medina mengangguk.
Setelah menjelaskan semuanya, mami keluar dari kamar Medina. Mengucapkan bismillah, Medina berdoa semoga ini awal yang baik untuk dirinya.
Nanti saja Medina memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Ia akan beristirahat dulu.
Berbaring terlentang, wanita itu memejamkan matanya.
Hidup memang sudah sulit, namun kali ini Medina ingin menikmati proses hidupnya. Akan lebih sulit atau manis ke depan, tidak ada yang tahu.
Baru saja rasa kantuk melanda, ketukan di pintu kamar terdengar.
"Mami lupa ngasih ini."
Sebuah kotak kecil, yang dikenali Medina sebuah ponsel bermerek.
"Kamu pernah sekolah sampai SMP, pasti tahu cara pakainya." sebelum meninggalkan Medina, mami mengatakan jika nanti akan ada yang datang mengantarkan makanan.
Menatap benda itu, Medina mengerjap. Baru saja ia mendapat tempat tinggal sekarang apalagi?
Pasti mahal, pikir Medina ketika membuka kotak tersebut dan menemukan benda pipih dengan gambar buah apel.
Persis punya mas Raffi.
Mami sudah menyiapkan untuknya, Medina hanya perlu menggunakannya.
Nomor Mami. Chat saja kalau perlu.
Jika ada uang, semuanya mudah. Medina tampak bersemangat saat membalas pesan dari mami.
Rasa kantuk hilang begitu saja, ketika notice dari aplikasi instagram juga twitter masuk. Tinggal klik semua kelihatan. Se-norak itu memang Medina karena ini pertama kalinya ia memegang benda tersebut.
Medina tidak menganggap dirinya tamu. Keberadaannya di sini murni karena ingin bekerja. Jadi, saat membuka pintu kamar dan melihat seorang wanita paruh baya dengan sebuah nampan berisi makanan, wanita itu terlihat sungkan.
Kepada wanita itu, Medina memperlihatkan note kecilnya. Senyum bijak, dilihat Medina dari wanita bernama bi Kom.
"Istrahat dulu. Kami senang dengan kedatanganmu."
Sekali lagi Medina mengangguk sopan.
Sepeninggalnya bi Kom, Medina kembali padaL ponselnya. Medina belum lapar. Membuka aplikasi kamera, Medina memotret dirinya. Hasilnya cukup mengejutkan. Memperhatikan baik-baik, wajahnya memang sangat lusuh. Medina tersenyum. Berat hidupnya selama ini cukup diketahui dari raut wajahnya.
Meletakkan ponsel tersebut Medina berjalan ke arah pintu kaca. Pemandangan lapangan luas terbentang langsung di belakang bangunan.
Tidak pernah dibayangkan Medina, jika dirinya akan berada di Jakarta. Kota besar yang sering disebut kota kejam bagi warga miskin. Harapan Medina keberadaannya di sini akan membuka pintu masa depan untuknya.
Tidak sengaja, saat berbalik ingin masuk mata Medina menangkap dua orang yang keluar tergesa dari mobil. Karena penasaran, wanita itu memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan oleh dua orang beda jenis kelamin tersebut.
Melongo dengan mata mengerjap, Medina menyaksikan adegan yang dilakukan dua orang tersebut.
Siapa mereka?
Kenapa mereka melakukan hal itu?
Medina juga sempat melihat wanita tersebut memamerkan sebuah kunci dengan gaya menggoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku tidak bisu
RomanceNur Medina, siapa wanita bisu itu? Ada yang tahu derita hidupnya? Jika semua orang layak memperlakukannya seperti wanita hina, bagaimana jika saat dia kembali membawa dunia di telapak tangannya? Yakin, akan ada maaf darinya?