catatan: ngomong-ngomong, part ini dan beberapa part ke depan itu aku ambil dari Bull's Eye, tadinya mau loncat aja langsung, tapi kepikiran lagi post aja di sini anggap aja baca ulang
selamat membaca!
___
Libur semester yang harusnya menjadi menenangkan dan dinikmati justru menjadi mimpi buruk bagi Arandra.
Siang itu di rumah hanya ada para perempuan dengan usia yang berbeda-beda. Riri, Mama, dan Shinta berdiri khawatir di depan pintu kamar Arandra yang sejak pagi tadi tertutup dan terkunci.
Berawal dari ucapan Mama yang menyuruh Arandra untuk menampung air seninya di dalam sebuah gelas plastik tak terpakai, membuat Arandra yang paham betul ke mana arah pemikiran mamanya langsung mengamuk histeris.
"Maksud Mama? Mama nuduh ... aku hamil?" Begitu kata Arandra, memandang Mama siang tadi dengan mata berkaca-kaca dan suara yang sangat parau. "AKU NGGAK HAMIL, MA! AKU NGGAK HAMIL!" lalu cewek itu berlari ke kamar, mengunci pintu dari dalam dan terus terisak tak menerima tuduhan itu.
Mama jelas sangat khawatir. Sudah sejak satu bulan dia mengamati anak bungsunya itu. Mengamati setiap perubahan yang terjadi kepada Arandra. Mama sudah melewati semuanya saat masih muda. Dia juga bukan orang awam dalam dunia medis.
Mama pun berusaha mengelak. Untuk seseorang yang sudah tidak baru dalam dunia medis, satu bulan adalah waktu yang sangat lama untuknya menebak apa yang sebenarnya terjadi karena sejujurnya selama satu bulan itu Mama berusaha untuk tetap berpikir positif bahwa apa yang terjadi kepada anaknya bukan karena sesuatu yang tidak diinginkannya.
Sekarang, Mama frustrasi. Dia kecewa, tetapi perempuan berumur 40 tahunan itu jauh lebih takut jika suaminya tahu apa yang terjadi kepada anak mereka. Kondisi kesehatan jantung Papa bisa semakin memburuk.
Riri berdiri cemas. Hal yang dia takutkan terjadi. Atas perbuatan Orlando yang sangat tidak menghargai perempuan itu membuat hidup Arandra mulai berantakan mulai hari ini.
Tidak. Bukan mulai hari ini, tetapi cowok itu telah menghancurkan hidup Arandra sejak mereka mulai saling kenal.
Shinta juga cemas meski beberapa kali dia bercelutuk dengan kata-kata yang semakin membuat Mama kesal. Paniknya Shinta adalah dengan mengatakan hal yang semakin membuat runyam.
Bagaimana jika papanya tahu?
Bagaimana jika terjadi sesuatu kepada Arandra di dalam sana?
Bagaimana jika Arandra melukai diriny sendiri? Atau lebih parahnya bunuh diri?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat Mama frustrasi memikirkan cara agar Arandra segera membuka pintu.
Kini, Mama semakin dibuat sedih. Respons Arandra setelah Mama meminta air seninya adalah salah satu bukti bahwa memang terjadi sesuatu kepada Arandra yang juga sedang tidak diinginkan oleh anak bungsunya itu.
***
Arandra menangis terisak di sudut kamarnya. Darah yang sudah kering menempel di dahinya. Darah itu muncul pagi tadi, saat dengan sengaja Arandra memukulkan kepalanya ke sudut meja.
Tidak terasa sakit. Hatinya jauh lebih sakit. Sampai detik ini dia menangis, menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan di atas lutut yang tertekuk.
"Cowok gila. Cowok berengsek. Anj*ng." Arandra terus mengumpat dengan suara pelan yang terbata-bata. "Gue nggak akan maafin lo. Demi Tuhan."
Arandra menggigit bibir dan tenggorokannya semakin tercekat. Bibirnya terus bergetar mengingat betapa bodohnya dirinya selama ini.
Mempercayai Orlando yang ternyata tak pernah tulus menyukainya sejak awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between The Devil and The Deep Blue Sea
JugendliteraturSELESAI ✔️ "Kalau aku hamil?" Arandra memandang Orlando dengan ragu. Orlando tersenyum menenangkan. "Aku bakalan tanggung jawab." copyright, 2021.