17. Jadian?

81 21 13
                                    

Pengumuman singkat di akhir pembelajaran dari wali kelas membuat dada Rinjani kembang kempis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pengumuman singkat di akhir pembelajaran dari wali kelas membuat dada Rinjani kembang kempis. Bibirnya tak mampu melentur membentuk senyum, apalagi ketika matanya tanpa sengaja melihat Langit dan Anggita melintas di hadapannya. Ia terhipnotis mengikuti laju motor mereka hingga hilang ditelan jalan sepanjang mata memandang.

Apa yang dilihatnya barusan, berhasil memancing kembali ucapan Rini dan sesuatu yang Rinjani rasakan ketika di toko buku. Rinjani belum menginginkan rasa kembali, tapi pikiran dan hatinya mendadak kompak mendemokan agar hubungannya dengan Langit membaik.

Rinjani berjalan mondar-mandir di depan halte, berusaha mengalihkan fokus agar tidak memikirkan hal itu. Tunggu ... apakah Langit juga merasakan apa yang dirasakannya saat ini? Enggak. Dia terlalu bahagia, mana ada ruang untuk merasakan hal ini. Buktinya, dia tetap lurus-lurus saja, malah semakin dekat dengan Anggita.

Sementara itu, Rinjani masih setia menyandang status pertemanan dengan Lintang. Laki-laki berwajah tegas itu, masih belum mengungkapkan perasaannya. Entahlah, Rinjani punya banyak alasan kenapa dirinya sangat berharap bahwa Lintang akan menjadi kekasihnya. Memang sih, usia kedekatannya masih sangat dini, tapi Rinjani benar-benar menunggu waktu itu, waktu yang paling dinantinya.

Panjang umur. Sosok yang memenuhi pikiran Rinjani sudah tiba di hadapannya, dia turun dari motornya seraya menggaet keresek yang berisi dua minuman dingin begitu helmnya terlepas. Dia menyuruhnya duduk di kursi halte, dan memberikannya satu minuman cappucino.

“Sekarang kamu punya rencana untuk ke mana?” Lintang menusuk minumannya dengan sedotan, lantas menyeruputnya.

Rinjani menggeleng, kemudian menyedot minumannya. “Entahlah. Aku pengin main ke kosan kamu, Kak.”

“Lin-tang!” Lintang mengingatkan Rinjani agar tidak menyebutnya dengan sebutan ‘Kak’.

“Enggak bisa. Udah nyaman pake ‘Kak’,” balas Rinjani seraya tersenyum memandang wajah Lintang yang terarah kepadanya. “Boleh, kan? Em, kita bisa nonton film, sambil ngemil, atau ngobrol santai sambil dengerin musik.”

“Serius?” Lintang menatap lekat wajah Rinjani.

“Iya. Kenapa? Enggak boleh?”

Kepala Lintang menari kanan-kiri, dengan tatapan ke atas sementara mulutnya sibuk menyedot minumannya. “Boleh. Apasih yang enggak buat kamu.”

“Gombal terus!” Rinjani membuang muka ke sembarang arah. Hatinya bereaksi dan meneruskan apa yang baru saja ia ucapkan kepada Lintang. Tapi enggak diseriusin!

Setelah berbincang santai mengenai apa yang telah dilaluinya hari ini, mereka beranjak dari halte menuju sebuah minimarket untuk membeli beberapa camilan sebagai teman saat di kossan nanti. Rinjani dan Lintang akan membeli banyak makanan ringan, dan beberapa minuman dingin dan bersoda.

Rinjani terpaku sejenak ketika motor Lintang terparkir di samping motor yang sudah tidak asing di matanya. Ia mundur dua langkah untuk memastikan plat nomor motor tersebut, napas Rinjani tertahan. Sudah tidak salah lagi kalau motor ini milik Langit. Serius? Apakah ini masih sah dibilang sebuah kebetulan setelah pertemuan kemarin di toko buku? Ayolah, bercandanya semesta tidak asyik.

Kutunggu Kau Putus || OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang