16. Rasa Untuk Kembali

60 18 8
                                    

Sebuah Honda CB 100 baru saja menepi di depan rumah, sang pengendara melepas helm dan menyomot sekantong eskrim yang menggantung di spion motor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebuah Honda CB 100 baru saja menepi di depan rumah, sang pengendara melepas helm dan menyomot sekantong eskrim yang menggantung di spion motor. Sebelum pergi ke rumah di samping rumahnya, ia bercermin terlebih dahulu membersihkan debu jalanan yang mengendap di sudut mata. Malam ini sungguh fantastis, dengan dibumbui kejadian di luar dugaan. Ia dan Anggita bertemu mereka di toko buku.

Berkali-kali Langit mengetuk pintu rumah ini, tapi tak pernah ada jawaban. Rumah ini tampak senyap, beberapa bagian ruangan pun terlihat gelap. Langit duduk di kursi beranda, mengecek ponsel yang sengaja ia bisukan selama bersama Anggita.

10 panggilan tak terjawab

Langit membalas beberapa pesan terlebih dahulu, terutama ibunya. Setelah itu ia langsung menelepon balik Rini yang beberapa menit lalu meneleponnya. Apalagi setelah mendapatkan spam chat dari Ardhan, dia meminta tolong kepadanya untuk menjemput Rini di pabrik.

“Halo Tante! Maaf baru buka hp, mau aku jemput?” Langit menyimpan kantong eskrim, lalu bangkit dari duduknya dan mondar-mandir di sana.

Iya enggak apa-apa. Sekarang Tante di tukang baso yang ada di seberang samping tukang martabak langganan.

“Oh, oke. Aku otw ya,” pungkas Langit.

Langit bergegas menjemput Rini di tempat di mana dulu keluarga Rinjani kumpul, biasanya acara awal bulan. Ia memang selalu diajak, dan sudah dipastikan selama perjalanan, hingga tiba pesanan, ia selalu berdebat dengan Rinjani. Entah tentang makanan, tugas, bahkan hal-hal kecil seperti mentertawakan kalimat gurauan dari para orang tua.

Tepat pukul tujuh tiga puluh, Langit tiba di kedai bakso. Rini langsung menghampirinya, meminta untuk menunggunya sebentar karena pesanannya belum jadi. Langit berdiri di samping Rini, memperhatikan penjual bakso mengemasi pesanan. Berharap, Rini tidak banyak tanya mengenai Rinjani, tapi hal itu sungguh mustahil. Sekarang Rini menatapnya, bersiap untuk mengucapkan sebuah kalimat.

“Rinjani udah pulang belum? Setelah ngabarin Tante dia enggak aktif,” ujar Rini seraya melipat tangannya di depan dada.

Langit menggeleng. “Rumah Tante masih sepi, beberapa ruangan pun lampunya belum nyala. Kayaknya Jani belum pulang, Tan.”

Sejenak Rini memejam, menahan napas beberapa detik sebelum akhirnya mengempaskannya. Rini berusaha tenang, ia hanya belum terbiasa dengan Rinjani yang sekarang selalu pulang malam bersama laki-laki selain Langit. Jika pergi dengan Langit, Rini tidak pernah merasa secerewet ini atau bolak-balik lihat ponsel untuk memastikan sebuah pesan. Tapi sekarang anak perempuannya pergi bersama laki-laki yang baru-baru ini dekat, bahkan Rini sampai beranggapan jika hal ini adalah jarak bagi Rinjani dan Langit.

“Rinjani enggak ngabarin kamu, Lang?” Rini menatap Langit yang membuang muka ke arah penjual bakso.

“Enggak, tapi tadi aku ketemu sama Rinjani dan Lintang di toko buku. Mereka sempat ngajak aku sama Anggita untuk makan bareng, tapi Anggita tolak karena kita tahu saat itu waktunya pulang. Jadi, kemungkinan Rinjani sama Lintang lagi makan malam. Tante tenang aja, Lintang orangnya baik kok, terus punya banyak kesamaan dengan Rinjani. Jadi wajar aja mereka betah berduaan.” Langit berusaha menenangkan Rini, meskipun apa yang diucapkannya adalah buah pemikiran positifnya. Toh, Langit belum pernah mengobrol dengan Lintang dan Rinjani hanya menceritakan kisahnya tanpa detail karakter Lintang.

Kutunggu Kau Putus || OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang