Waktu adalah uang, dan waktu adalah keajaiban yang tak akan pernah bisa diulang. Apa pun hasilnya pada detik itu, mau tidak mau harus diterima. Apa yang dilakukan di masa sekarang adalah mantra untuk menciptakan masa depan, dan seorang Rinjani tidak mau menyesal karena mantra itu termasuk orang-orang terdekatnya.
Setelah melakukan ritual wajib di pagi hari, Rinjani langsung meraih jaket berwarna biru muda, dan mengikat rambutnya. Ia memancarkan senyum penuh semangat, saat wajah segarnya menyapa bayangan dalam cermin.
Rinjani mencomot sepatu sport biru di penjuru kamar; sebelah pintu. Minggu ini akan menjadi ajang inkarnasi bulir-bulir penat yang berkerumun di jiwanya, menjadi sepercik semangat yang baru.
Saat langkahnya menjejaki anak tangga, Rinjani melihat keluarganya tengah berkumpul di ruang tengah, fokus terhadap berita yang tengah disiarkan. Bola mata hitam Rinjani kini mengarah kepada kakaknya, yang ternyata sudah siap dengan seragam olahraga—tepatnya baju futsal anak komplek.
“Mah, Pak, kita berangkat olahraga dulu.” Laki-laki berwajah tegas itu bangkit seraya menerbitkan senyum tipis andalannya.
“Mamah sama Bapak jangan lupa olahraga juga. Apalagi Bapak, sibuk mulu,” tutur Rinjani begitu melewati keduanya.
Keduanya saling tatap, kemudian menoleh kepada putrinya yang berjalan ke arah luar rumah. “Mamah setiap hari olahraga. Menyapu, mengepel, mencuci pakaian, itu termasuk olahraga juga, kan?”
“Bedalah Mah! Olahraga itu yang bisa ngebuat pikiran kita lebih rileks, dan fresh!” elak Rinjani.
“Iya, nanti kita olahraga,” timpal pria yang nyaris berusia setengah abad itu sambil berkedip ke arah istrinya, genit.
Memandangi apa yang mereka lakukan membuat Rinjani tersenyum tipis, apalagi saat mamah menyandarkan kepalanya ke bahu bapak. Rinjani selalu berdoa agar suatu hari nanti bisa berpasangan dengan orang yang memiliki cinta dan kasih sayang seperti bapaknya. Dia adalah guru terbaik bagi Rinjani, bahkan kalau boleh minta ia ingin sekali mendengar dongeng atau cerita pengalaman beliau lagi, seperti dulu.
Rinjani mengembuskan napasnya pelan, entah apa yang telah merasuki jiwanya pagi ini sampai sosok guru itu mengambil alih pikiran dan perasaannya. Sekali lagi, Rinjani menerbitkan senyum sebelum akhirnya laki-laki lima tahun lebih tua darinya berseru.
“Jadi, mau olahraga atau enggak?” Laki-laki itu merentangkan tangan seraya menggerakkan jari-jarinya, sebagai salah satu bagian dari pemanasan.
“Iya, Aa-ku sayang,” timpal Rinjani. “Aku mau ke rumah Langit dulu!” Rinjani berlalu memasuki kawasan rumah Langit melalui gerbang yang terpasang di benteng samping rumahnya.
Setiap hari Minggu, mereka bertiga selalu berolahraga dan tidak pernah absen sekalipun, terutama Rinjani. Semangatnya tidak pernah turun, dan komitmennya tidak pernah runtuh. Jangan sia-siakan waktu yang berharga ini dengan aktivitas yang bisa menghambat semua mimpi. Begitulah Rinjani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Kau Putus || OPEN PRE ORDER
Teen Fiction[Song Series] [on going versi revisi 1] Langit dan Rinjani telah bersahabat sejak kecil. Maka mustahil jika teman-temannya menganggap kedekatannya tidak terlibat dalam perasaan. Namun, semuanya berubah ketika Langit berpacaran dengan Anggita. Meskip...