13. Pagi Dan Kisah Kita

93 21 18
                                    

Hari pertama tanpa seseorang yang selalu ada didekatnya, langitnya biru, awannya bergumpalan, bahkan matahari terasa lebih cepat dari biasanya untuk terbit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari pertama tanpa seseorang yang selalu ada didekatnya, langitnya biru, awannya bergumpalan, bahkan matahari terasa lebih cepat dari biasanya untuk terbit. Semua ini seakan-akan alam menyetujui keputusan yang mereka ambil semalam. Keduanya sepakat untuk tidak berhubungan sedekat dulu, ini memang bodoh, tapi apa yang mereka lakukan demi menjaga bahagianya masing-masing—kata Rinjani.

“Lho, kamu enggak bareng sama Rinjani?” Lia mengerutkan dahi, menghentikan aksi menyapu berandanya ketika melihat helm yang selalu Rinjani gunakan bergeming di kursi.

“Aku berangkat dulu—eh, helm itu tolong kasih ke Jani ya, Mah. Dah!” Langit telah melesat meninggalkan rasa heran yang berlipat-lipat di wajah Lia.

Bola mata Langit tiada henti menatap spion, yang mengarah ke jok belakang. Dulu Langit sering melakukan ini untuk memastikan sekaligus memahami orang yang diboncengnya saat berbicara. Namun, karena sosok itu sudah menemukan tempat baru untuk bercerita, bersandar, dan segala aktivitas lainnya, Langit memutuskan untuk menundukkan spion sebelum fokusnya kembali mengarah ke sana.

Memang menyebalkan, apa-apa yang dilihat dan dilaluinya selalu ada sosok Rinjani yang menjadi pusat perputaran pikirannya. Setelah semua kokoh pada pusat itu, Rinjani memilih untuk meruntuhkan fokusnya tanpa aba-aba dan mendadak. Antara Rinjani yang enggak punya perasaan, atau Langit yang kebablasan dalam memaknai kedekatan ini.

Motor berpunggung besar itu berhenti di depan sebuah rumah berpagar tinggi, yang baru diisi kurang dari dua tahun ini. Langit menyapa satpam rumah ini, sebelum akhirnya dipersilakan masuk. Bukannya, masuk ke rumah Langit memilih untuk menemani satpam di pos jaga, ia memilih menelepon Anggita; memberitahukan bahwa dirinya sudah ada di depan rumah bersama Haris.

“Tumben kamu jemput Anggita, Lang,” ujar Haris seraya merapikan seragam kerjanya. “Biasanya, kamu cuma nganterin pulangnya doang,” lanjutnya.

“Aku ingin mempererat dan memperbaiki segala kesalahan yang aku lakukan sama Anggita, ya begini salah satu pembuktiannya.” Langit duduk di kursi kayu yang panjang di samping pintu pos jaga.

“Ribet ya pacaran zaman sekarang?” tanya Haris membuat salah satu alis Langit terangkat. “Dulu, kalo pacaran seru. Main jodoh-jodohin, terus beneran jadian, pacaran, nikah. Kalo pacaran jarak jauh, selalu menjadi momen romantis dengan menunggu kedatangan tukang pos karena saling kirim surat.” Pria baya ini menjeda ucapannya, membakar ujung rokok kretek yang sudah diputar-putar terlibih dahulu. “Kalo sekarang, baru pacaran seminggu masalah udah segudang, terus putus.”

“Tapi aku enggak gitu, buktinya udah hampir dua tahun ini,” elak Langit.

“Kalo kalian masih ragu, dan selalu menanyakan kebenaran cinta masing-masing, masih rawan kena senggol lalu putus, Lang.” Haris mengembuskan kepulan asap yang saling bergumpalan ke udara.

“Dulu pasti Pak Haris playboy, ya, laku sana-sini?” cetus Langit membuat Haris tersedak asap rokok hingga terbatuk sampai dua bola matanya berair. “Astaga, Pak! Maaf! Enggak sengaja!” panik Langit. “Lagian, Bapak kalo ngomong berasa lagi ceritain pengalaman, kena banget feel-nya!” Langit membantu meraih segelas air yang berada di meja dalam pos.

Kutunggu Kau Putus || OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang