Di ruangan sebesar 3 x 3 meter dengan cahaya remang-remang Langit masih bertahan, posisi yang semula di atas kasur terus ke mulut pintu kini berakhir di kursi yang berada di balkon. Bukan komik lagi yang digenggamnya melainkan buku tulis, berhiaskan materi penuh ukir layaknya catatan dokter.Perempuan berambut semi pirang, berpakaian kaus belang dan celana selutut itu benar-benar meninggalkan banyak keseharian yang selalu mereka lakukan. Usai perdebatan kecil tadi, Rinjani memilih tak acuh bahkan terkesan bodoh amat dengan apa yang dipertegasnya. Bahkan, sekarang dia lebih memilih belajar bareng Lintang dengan melakukan panggilan video di sana, sementara dirinya melamun membiarkan bukunya membeku diterpa angin.
Langit bangkit dengan diiringi hela panjang, bertepatan ketika Rinjani dan Lintang tertawa bersama saat menganekdotkan sebuah istilah dalam pembahasan. Dulu tepatnya sebelum hal itu terjadi, ia sering melakukannya juga, tapi, ya, sekarang sudah berakhir.
“Gue balik dulu, dan lo jangan tidur kemaleman,” ujar Langit. Ketika tangannya memegang hendel pintu, Rinjani menoleh dan memanggilnya.
“Besok lo gak usah repot-repot ke sini lagi, Lang, kecuali lo mau lunasin itu eskrim,” cetus Rinjani seraya menaikan salah satu sudut bibirnya.
Langit berbalik, menatap penuh wajah Rinjani yang sudah fokus lagi dengan wajah Lintang yang tergambar di sana. Apa Langit tidak salah dengar apa yang baru saja Rinjani ucapkan? Apa dia sadar kalau ucapannya berhasil menggores hatinya?
“Secepat itu lo ngelupain semuanya, Ni?” tanya Langit dengan hela napas lumayan panjang, berharap kalau Rinjani menarik ucapannya.
“Jangan mendramatisasi, Lang.” Rinjani mengaktifkan mode silent atas panggilannya, sebelum akhirnya menatap Langit. “Lo pikir persahabatan kita baik-baik aja? Lo pikir gue gak sakit hati ketika lo bucin sama Anggita?” Rinjani menjeda ucapannya sejenak. “Lo pikir lo aja yang mesti bahagia? Gue juga berhak bahagia, dan sekarang gue udah nemuin itu tanpa harus mencampuri bahagia lo!” pungkas Rinjani seraya memalingkan wajahnya dari Langit.
Rinjani tidak akan menutupinya lagi, apa yang mengganjal di dada sudah terucapkan. Meskipun ia harus merasa sesak setelahnya. Rinjani tak sanggup kembali menatap Langit, dia adalah alasan untuk semua sesak di dada.
Langit mengangguk. “Oke, kalo gitu. Gue juga akan mulai melupakan semuanya. Sori jika akhir-akhir ini gue nyakitin lo,” pungkas Langit seraya menutup pintu kamar Rinjani. Sebelum benar-benar pergi Langit menghela napas, menetralkan perasaan yang menggebu menyuarakan kebodohan yang telah dilakukannya baru saja.
Aku baik-baik aja, biasa kalo kebanyakan baca buku mataku berair. Langit juga udah pergi barusan. Bukan bertengkar, tapi kayak semacam break aja.
Bibir Langit melahirkan senyum tipis, kala kata ‘break’ berhasil melewati gendang telinganya. Terdengar lucu, tapi berhasil membuat dadanya menggebu, bukan tak sanggup merajut rindu, melainkan Langit menginginkan buntu untuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Kau Putus || OPEN PRE ORDER
Teen Fiction[Song Series] [on going versi revisi 1] Langit dan Rinjani telah bersahabat sejak kecil. Maka mustahil jika teman-temannya menganggap kedekatannya tidak terlibat dalam perasaan. Namun, semuanya berubah ketika Langit berpacaran dengan Anggita. Meskip...