Perubahan sikap Langit semakin kentara, setelah kejadian di mana ia menerobos kamarnya Jumat malam. Dalam sekejap, dia berubah menjadi sosok laki-laki yang dingin, seakan-akan enggan untuk memaparkan sebuah ekspresi. Memang hal ini hanya berlaku pada dirinya sendiri, jika berhubungan dengan orang lain dia masih tetap Langit yang dikenalnya. Mungkinkah, dia sudah berhasil melupakan segalanya? Jujur, sampai saat ini Rinjani belum bisa melakukan hal itu. Terlebih melihat sikap Langit yang mendadak berubah begitu saja.
Sudah lebih dari seminggu Rinjani mengamati Langit, tapi sikap dia masih sama sangat dingin, seakan-akan tak berselera menatapnya lagi. Jumat malam, tanggal tiga puluh November dua ribu delapan belas pukul tujuh tiga puluh, langit tanpa bintang dan bulan, hawa terasa menusuk, Rinjani duduk di kursi balkon lengkap dengan sweater abu-abu sembari menggenggam segelas cokelat hangat. Rehat sejenak dari tumpukkan buku, yang diawal Desember akan dihadapi dengan ujian semester.
Rinjani meneguk pelan cokelat hangatnya, sejenak ia terpejam membiarkan angin membelai tengkuknya. Sebelum jarum panjang jam menunjuk angka dua belas, Rinjani akan menghabiskan waktu ini bercengkerama dengan malam bagaimana mengembalikan hubungan yang dulu terjalin hangat kini menyengat pun enggan.
Malam sepi mampu mengantarkan banyak suara dari mana pun, termasuk alunan gitar akustik yang kini menyapa telinga Rinjani. Segera ia membuka mata, dan menoleh menelisik sesuatu yang ia duga sebagai sumber cahaya. Di balkon lain, ia melihat sosok laki-laki terduduk di sana tengah mengulik gitar yang dipangkunya. Langit, sosok yang dulu sangat dekat, kini terasa jauh.
Tanpa hambatan apa pun, Rinjani tak berniat untuk melepaskan pandangan dari Langit. Perubahan sosok Langit membuatnya rindu setengah mati, bagaimana tidak ucapan menyakitkan yang dulu pernah terlontar kepada Langit seakan meledeknya sekarang. Rinjani menyesal melontarkan kalimat tersebut. Andaikan tidak terjadi, mungkin sosok itu ada di sampingnya sekarang.
Hai! Kamu belum tidur?
Alunan gitar itu mendadak lenyap, tergantikan dengan sebuah obrolan. Rinjani bisa melihat dengan jelas, kalau Langit sedang melakukan panggilan video. Toh, suara dia samar-samar sampai ke telinganya.
“Belum,” jawab Rinjani sangat pelan.
Padahal beberapa detik lalu kita vc, tapi aku udah sangat rindu.
Tanpa sadar Rinjani tersenyum memandang Langit di sana. “Gue juga rindu, mau gak lo maafin gue?”
Rinjani meringis mengakhiri semuanya, ia menutup pintu balkon—melupakan segelas cokelat hangat di sana—kemudian melempar tubuhnya ke atas kasur. Ia memejamkan matanya, Rinjani rindu dengan Langit. Biasanya di hari-hari menuju ujian akhir, mereka selalu sibuk membahas banyak materi sambil berdebat yang berujung perang. Tapi sekarang enggak. Mereka seperti sudah dipisahkan oleh semesta.
Tubuh Rinjani berguling sana-sini mencari tempat ternyaman dari singgasananya ini. Ia melihat laptop yang masih menyambung dengan whats app web, beberapa menit lalu Lintang memenuhi layar benda itu. Telah seminggu, Lintang selalu hadir dalam hidupnya, seminggu pula hidupnya berasa ada yang kurang. Langit. Nama itu mengudara di otaknya akhir-akhir ini, seakan-akan ia tidak pernah menghargai Lintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutunggu Kau Putus || OPEN PRE ORDER
Teen Fiction[Song Series] [on going versi revisi 1] Langit dan Rinjani telah bersahabat sejak kecil. Maka mustahil jika teman-temannya menganggap kedekatannya tidak terlibat dalam perasaan. Namun, semuanya berubah ketika Langit berpacaran dengan Anggita. Meskip...