Episode 3

352 18 0
                                    

Author POV

  Enam bulan sudah waktu berjalan dikelas sebelas bagi Bianca. Selama itu pula dia dihantui rasa benci yang alasannya tidak masuk akal terhadap seorang Bagas. Mereka berdua sama-sama saling menghindar, saling menjauh, saling tidak peduli. Seakan-akan Bianca tidak menganggap Bagas ada dan begitu juga sebaliknya. Dan jika memang harus berada pada satu kelompok, Bianca yang tak banyak bicara. Sedangkan Bagas biasa saja, meskipun terkadang dia sedikit merasa canggung dan aneh. Bianca adalah seorang  gadis yang ceria tetapi saat berada didekat Bagas, dia berubah menjadi diam dan sering memasang wajah tak suka. Itu yang membuat Bagas sering bertanya-tanya. Tapi dia tidak terlalu memikirkannya, karna baginya dia tidak pernah berbuat kesalahan kepada Bianca.

Bianca POV

  "Ah sialan, alay banget sih!" Pekikku saat melihat foto dan caption yang di upload oleh perempuan najong di instagram.

  "Kenapa sih, Bi?" Tanya Caca. Aku melemparkan handphone-ku diatas tempat tidurku. Meila dan Caca langsung berebutan untuk melihat apa yang sudah membuatku memekik. Tak lama kemudian mereka berdua tertawa keras. Aku mengangkat sebelah alisku. Menatap tajam mereka satu persatu, meminta penjelasan.

  "Lo marah? Lo cemburu?" Tanya Meila. Pertanyaan aneh. Membuat dadaku sesak sesaat, teringat kejadian setahun yang lalu.

  "Buat apa gue marah? Percuma. Dan juga, gue udah gak cinta sama dia jadi gak mungkin gue cemburu!" Jelasku.

  "Trus kenapa lo jadi mekik? Seharusnya lo itu ketawa sekeras mungkin. Cewek Bryan yang baru gak lebih baik dari lo, Bi." Ucap Meila, lalu melemparkan handphoneku ke arahku. Ku buka kembali foto tadi. Sebuah foto dengan bingkai love, muka Bryan yang biasanya cool-tampan sekarang terlihat seperti orang idiot, ditambah lagi muka ceweknya yang bernama Merry seperti tante-tante najong. Dengan caption "Ku harap kau kan jadi suamiku. Sayang kamu yan:*". Aku pun tertawa sekeras mungkin, suami? Yang benar saja, baru saja pacaran sudah memikirkan hal sejauh itu. Di tambah lagi keluarga Bryan yang super ketat tapi juga masih kebablasan jaga anaknya. Memang benar apa kata Meila, aku harus 'tertawa' jika memang tidak ada rasa lagi. Aku bahkan sudah mulai lupa, meskipun dulu sangat sulit melakukannya. Setahun pacaran bukan waktu yang sebentar. Kenangan bertaburan di sana sini. Banyak rintangan dan halangan yang kami lewati bersama. Mulai dari gangguan dari luar sampai masalah menyangkut keluarga. Mungkin karna fisik kami yang bisa dibilang almost perfect, sehingga peluang untuk selingkuh pun besar. Di tambah lagi pikiran kami yang belum cukup dewasa saat kelas sepuluh. Sudah berapa kali kami saling memaafkan atas kesalahan yang sama, selingkuh. Hingga pada suatu hari, orang tua Bryan turun tangan dengan hubungan kami. Mereka tidak menyetujui hubungan kami, hanya karna keluargaku yang brokenhome. Sebuah alasan yang membuatku tidak percaya. Alasan yang tidak masuk logika. Namun saat itu, aku dan Bryan masih backstreet. Kami memang saling mencintai dan bergantung satu sama lain. Dan saat itu pun tiba, saat semuanya hancur di depan mataku sendiri. Tepatnya seminggu setelah peringatan satu tahun kami jadian, aku memutuskan membuat kejutan untuk Bryan. Aku mencari Bryan ke sana kemari, teman-temannya pun tidak tau keberadaan dia dimana. Akhirnya aku menyusul Bryan di markas miliknya. Sebuah rumah kecil, tempat dimana Bryan dan teman-temannya biasa ngumpul. Terlihat sepi tapi aku melihat ada motor Bryan terparkir disana. Setelah aku keluar dari mobilku, aku berjalan mengendap-endap. Berharap Bryan akan benar-benar suprise dengan kedatanganku. Tiba-tiba nafasku tercekat di tenggorokan saat aku mendengar tawa seorang perempuan lalu disusul tawa milik Bryan. Jantungku berdegup kencang, kaki dan tanganku dingin, tubuhku bergetar. Saat ku buka pintu kamar, asal suara itu berada dan ternyata aku yang dibuat terkejut olehnya. Melihat orang yang kita cintai sedang bersama perempuan lain, tubuh mereka tidak dibalut oleh sehelai benang pun. Spontan kue coklat berbentuk love yang ku buat dengan sepenuh hati terjatuh dilantai. Hancur lebur, sama seperti perasaanku. Badanku bergetar hebat, dadaku sesak dan mataku merah menahan air mata yang dari tadi mendesak ingin keluar. Perlahan aku menutup pintu kamar. Meninggalkan mereka berdua yang masih terkejut dan memunguti pakaian mereka. Aku tidak boleh pergi, aku harus menyelesaikan ini semua batinku. Aku menunggu Bryan didepan mobilku, mengatur nafasku yang memburu. Kalau saja tadi aku kalap karna emosi, mungkin sekarang mereka berdua sudah tergeletak tak bernyawa.

I Believe About DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang