Episode 20

254 14 0
                                    

Bianca POV
Akhirnya tubuhku bisa kembali segar setelah beberapa hari yang lalu tubuhku sempat drop akibat terlalu sibuk mengurus segala macamnya. Perbedaan waktu 3 jam dari Indonesia juga sempat membuatku kalut tapi sekarang aku sudah mulai terbiasa dengan semuanya. Rumah papa yang lebih besar dari rumah mama membuatku berdecak kagum. Di rumah sebesar ini hanya ada aku dan papa ditambah beberapa asisten rumah tangga, satpam dan bodyguards. Kamarku disini lebih luas lagi daripada kamarku yang di Indonesia. Tempat tidur queen size, warna dinding yang di dominasi warna cream dan putih, serta segala macam kebutuhanku sudah di persiapkan papa. Tak luput dari perhatian papa, yaitu balkon kamar. Karena papa tau, anaknya ini sangat suka memandangi langit dan senang merenung.

Aku sudah siap dengan setelan kerjaku, bukan setelan anak kuliahan lagi. Ada rasa bangga tersendiri saat memakai setelan kantor ini. Hari ini kemeja polkadot hitam putih ku padukan dengan rok span selutut juga high heels hitam 10cm. Papa melarangku untuk memakai flat shoes maupun sneaker saat bekera. Aku juga mengerti mengapa papa melakukan itu, agar aku lebih terlihat dewasa dan berwibawa. Make up yang ku pakai juga tak setipis dulu tapi juga tidak terlalu tebal.
After breakfast, aku segera menyusul papa yang sudah menunggu di teras rumah. Dia sudah gagah berdiri sambil membawa tasnya yang berisi file-file.
"Morning, Boss." Sapaku penuh semangat.

"Morning too my princess. Let's go." Ucap papa sambil menarik tanganku menuju mobilnya.

"Hari ini papa ada rapat sama klien papa yang masih muda." Kata papa sambil tersenyum misterius saat kami sudah dalam perjalanan.

"Oh ya? Berapa umurnya?" Tanyaku.

"Seumuran sama kamu. Mau ikut?" Ajak papa. Aku pun mengangguk mantap, siapa yang bisa menolak di ajak bertemu dengan pengusaha muda?

Aku dan papa sudah tiba di sebuah restoran mewah dekat kantor papa. Sudah pasti di sini banyak sekali bule, ya namanya juga di luar negeri. Seperkian detik aku mengagumi desain restorannya, lalu papa mengajakku masuk. Ternyata di dalamnya lebih bagus lagi. Meskipun bertema vintage tapi masih menonjolkan kharisma elegannya. Setelah memuja-muji dalam hati restoran ini, aku langsung mengikuti langkah papa menuju ruangan VIP yang sudah di pesan papa. Aku duduk di samping papa yang tengah mengeluarkan laptop dan berkas-berkasnya.
"Excuse me." Sapa seorang pelayan yang menghampiri kami. Papa menolak untuk memesan duluan, karena dia harus menunggu kliennya dulu baru dia bisa memesan. Pelayan itu pun mengangguk dan kembali ke tempatnya. Sekitar 15 menit kami menunggu, akhirnya pintu ruangan di buka oleh seseorang yang berbadan besar dan berkacamata hitam. Aku rasa dia seorang bodyguard dan ternyata benar. Setelah dia membukakan pintu, dia membungkuk dan mempersilakan tuannya untuk masuk.
"Edien.." gumamku, aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan hasilnya tetap sama. Seorang pria berkulit putih persis seperti artis korea, berbadan tinggi dan tegap, kemeja biru yang dipakainya tidak bisa menyembunyikan perut sixpack dan dada bidangnya. Dia tersenyum kepadaku dan aku berusaha nembalas senyumnya meskipun mungkin terlihat tidak ikhlas karena gugup. Ternyata pengusaha muda yng dimaksud papa adalah dia.
"Nice to meet you again, Ed." Ucap papa senang.

"Edien juga, om." Jawabnya. Mereka berdua bersalaman erat.

"Bian, kamu tidak ingin menyapa Edien?" Tanya papa, membuyarkan lamunanku. Aku pun berdiri lalu mengulurkan tangan kananku sambil tersenyum.

"And we meet again,. I'm glad." Kata Edien sambil menyambut tanganku dan lagi-lagi ku rasakan getaran listrik. Dasar aneh!

"Aku juga." Ucapku singkat lalu kembali duduk dan menghela nafasku pelan, menetralisir jantungku.

Papa dan Edien pun mulai berdiskusi tentang proyek yang akan mereka tempuh bersama diselingi dengan menikmati makanan dan minuman yang sudah dipesan. Sedangkan aku hanya sesekali saja mengikuti arah perbincangan mereka, maklumlah aku baru pemula dan masih belajar.
Tak terasa diskusi antara papa dan Edien pun selesai.
"Bi, papa ada urusan lain lagi setelah ini. Kamu mau kan di antar sama Edien?" Tanya papa setelah dia menerima telpon dari seseorang. Sebenarnya aku mau saja, tapi masalahnya apa Edien bersedia?

I Believe About DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang