Episode 28

176 9 0
                                    

Author POV
    Bianca menatap nanar bulan yang malam ini sangat terang. Bagaimana bulan masih bisa bersinar terang dikegelapan malam padahal dia hanya sendiri? Tunggu, dia tidak sendiri! Dia ditemani banyak bintang yang ikut menyinarinya. Bianca tersenyum tipis mengingat nasibnya yang bisa dibilang sangat miris. Sudah tiga kali dia pacaran dan tiga kali pula dia diselingkuhi. Susah payah dia memperbaiki hati yang porak poranda akibat Bagas demi Edien tapi Edien merusaknya lagi bahkan lebih parah. Bianca menyeruput jus alpukatnya untuk menyejukkan otak dan hatinya yang masih terasa panas.

Tok..tok..tok..

Suara pintu kamarnya diketuk. Bianca berjalan meninggalkan balkon kamarnya dan membuka pintu. Papanya sudah berdiri disana dengan setelan jas rapinya.

   "Ada apa, pa?" Tanya Bianca. Suaranya masih serak akibat terlalu banyak menangis.

   "Kamu sakit ya?" Tanya papanya panik.

   'Sakit hati, pa' batin Bianca.
Siapapun yang melihatnya sekarang pasti mengira dia sedang sakit. Mata bengkak dan sembab, hidung memerah, rambut berantakan dan tubuhnya terasa lesu. Sudah seminggu ini dia tidak pergi kemana-mana hanya untuk menghindari Edien yang selalu mencari dan menghubunginya.

   "Gak kok. Abis bangun tidur aja." Bohongnya. Papanya hanya ber-oh ria.

   'Kalau ini adalah mama, dia sudah pasti tau bahwa aku sedang ada masalah', batin Bianca lagi.

   "Ya sudah, papa mau makan malam dengan teman lama papa. Kamu mau ikut?" Tanya papanya lagi. Bianca hanya menggeleng. Setelah mencium kening anaknya, papa Bianca langsung turun kebawah dan menderukan mobilnya. Bianca mengacai dirinya di cermin rias.

    "Apa sih yang kurang dariku?" Gumamnya pelan. Dadanya kembali sesak teringat Edien yang sedang berciuman dengan Teva.

Tok..tok..

Pintu kamarnya kembali di ketuk. Bianca pun beranjak membuka pintu kamarnya. Dan..

   "Sayang.." suara Edien terdengar sangat lirih. Bianca terkejut dan langsung menutup kembali pintu kamarnya. Dia memegangi dadanya yang berisi debaran jantung keras. Tak menyangka Edien akan datang lagi malam ini.

   "Bi, ku mohon jangan seperti ini. Tolong dengarkan penjelasanku." Ucap Edien dari balik pintu. Keadaannya tak kalah lusuh dari Bianca. Bianca masih bergeming.

   "Sebaiknya anda pulang." Tegas Bianca.

   "Aku gak akan pulang sebelum kamu mau menemui aku." Kata Edien. Dia menempelkan dahi dan tangannya ke pintu kamar Bianca.

   "Terserah! Aku benci pengkhianat!" Teriak Bianca lalu mengunci pintu kamarnya. Edien terkejut mendengar kata-kata Bianca yang menyebutkan 'benci'.

   "Ku mohon, Bi. Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi? Apa kamu sudah tidak merindukanku? Apa kamu sudah tidak menginginkanku lagi?" Ucap Edien, kali ini air matanya turun setetes, dia sudah tak mampu menahannya. Mendengar itu, tubuh Bianca luruh ke lantai. Dia menutup mulutnya agar Edien tak bisa mendengar suara tangisannya.

   'Aku akan selalu mencintaimu, aku sangat merindukanmu Ed', batin Bianca.

   "Maafkan aku, Bi. Kamu salah paham." Lirih Edien lagi. Tetapi Bianca masih tetap dengan pendiriannya, apapun yang sudah dilihat didepan matanya sendiri itu semua merupakan bukti dan tidak akan ada alasan untuk itu. Bianca segera beranjak menuju ranjangnya. Menutup mukanya dengan bantal, menumpah ruahkan tangisannya. Sedangkan Edien masih duduk bersandar didepan pintu kamar Bianca, dia tidak akan pulang sebelum Bianca keluar.
°°°

I Believe About DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang