Episode 5

274 19 0
                                    

Bianca POV
  Semenjak kejadian insiden soal matematika itu, aku lebih serimg memandangi Bagas. Saat di parkiran,  di kantin, saat jam olahraga dan saat-saat lainnya. Aku memang perempuan yang mudah mengagumi laki-laki tapi bagaimana bisa aku mengagumi Bagas yang selama ini ku benci? Jadi, aku belum bisa memutuskan, apakah aku benar-benar menyukainya atau tidak?

°°°

  Aku berjalan sendiri menyusuri koridor sekolah menuju perpustakaan. Meila dan Caca lebih memilih ke kantin. Setibanya di perpustakaan, aku memilah-milah buku di rak.

Aku tertarik dengan buku kumpulan sajak-sajak milik Sapardi Djoko Damono yang pada umumnya bertemakan cinta. Kemudian aku duduk di meja paling pojok dekat jendela. Aku mulai membaca cepat sajak-sajak tersebut. Hingga pada akhirnya, aku tertarik untuk membacakan sajak tentang cinta satu ini, aku melihat disekelilingku dan ternyata sepi. Aku membacanya dengan suara yang lumayan nyaring dan berusaha menghayatinya.

  "Ehemm..." kataku berdehem lebih dahulu, aku berniat untuk merekamnya. Ku buka kamera depan pada modus video di handphone-ku, lalu ku letakkan di meja. Aku mengambil nafas terlebih dahulu sambil menghafal sedikit sajak singkat ini. Setelah siap, aku mulai membacanya dengan menegakkan kepalaku.

  "Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi rincik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu harus menjadi aku"

Aku lalu menekan tombol merah di video. Narsis kan? Aku tersenyum sendiri. Menurutku sajak cinta ini sangat bagus. Kita harus menjadi diri sendiri agar dicintai seseorang dengan tulus. Be your self and you will get your true love.

Tak lama kemudian aku mendengar bunyi bel masuk, aku pun mengembalikan buku tersebut di tempatnya semula dan menuju kelasku.

Bagas POV
    Aku masih terdiam mematung di balik rak, tempat bersembunyi yang tidak pernah aku rencanakan sebelumnya. Sebenarnya tadi aku ke perpustakaan  hanya untuk mencari buku biologi untuk tugasku yang tertunda. Saat aku ingin menuju rak paling pojok dekat jendela, aku melihat Bianca hendak membuat video. Aku penasaran, apa yang sedang ingin dilakukannya? Apakah dia sedang ingin membuat sebuah video konyol? Aku pun mengeluarkan handphone dari saku celanaku lalu mulai untuk merekam Bianca, siapa tau dia akan membuat hal-hal tidak terduga. Tapi dari tadi dia hanya menundukkan kepalanya lalu tiba-tiba dia mengangkat kepalanya melihat ke kamera didepannya.

  "Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi rincik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu harus menjadi aku" suaranya terdengar lembut dan sexy ditelingaku. Meskipun aku hanya melihatnya dari arah belakang tapi aku bisa melihat dengan jelas ekspresinya melalui layar handphonennya. Entah mengapa, jantungku berdetak kencang saat mendengar dia membacakan sebuah sajak. Aku tau suaranya saat bernyanyi lumayan merdu tapi mengapa saat membacakan sajak, suaranya berubah lembut dan indah mendayu. Aku baru tersadar dari pikir panjangku saat dia bangkit dari tempat duduknya. Aku pun mencari tempat persembunyian, berlindung diantara rak-rak buku agar dia tidak mengetahui keberadaanku yang sedari tadi merekamnya. Aku menatap punggungnya, rambut hitam pekat yang bergelombang dibiarkannya terurai. Sadarlah Bagas, dia memang indah tapi dia jauh dari jangkauanmu meskipun faktanya kau juga menyadari bahwa kau juga mempesona batinku. Aku hanya mendengus jengah lalu kembali ke kelas.

Bianca POV
  "Bi, lo darimana aja sih? Di cariin juga." Ucap Caca yang sekarang duduk di atas mejaku. Dasar gadis manja yang tidak sopan.

"Gue ke perpus. Males juga gue ke kantin, banyak cabe disana." Jawabku malas.

  "Elaaah, noh si Galih nyariin lo!" Katanya ketus.

  "Seriusan lo?!" Ucapku setengah berteriak sambil memasang raut wajah berseri-seri. Caca hanya memutar bola matanya lalu dia kembali ke tempat duduknya.

  "Ah, dasar tukang ngibul!" Teriakku. Dia hanya tertawa dengan puas. Sialan.
  Aku memandangi langit lewat jendela disebelahku. Langit sedang mendung dan angin yang berhembus pun terasa dingin, sepertinya nanti akan turun hujan.

  "Selamat pagi anak-anak." Ucap Bu Meli, mengejutkan ku dari ramalanku terhadap cuaca.

  "Pagi, Buuuu." Jawab kami serentak. Aku pun membuka buku paket English yang dibagikan oleh Ucok, ketua kelas kami.

  "Okay, open your book page 29." Kata Bu Meli.

  "Ibu ingin kalian membuat kelompok drama naratif tentang legenda di dunia." Lanjutnya lagi.

  "Kelompoknya milih sendiri atau ibu yang pilih?" Tanya Tia dengan nada yang memang sok imut. Refleks bibirku mengerucut saat mendengar suaranya.

  "Ibu yang akan memilih. Karna kalau kalian pilih sendiri, itu gak fair." Jawab Bu Meli dengan tegas. Jantungku akan berdetak kencang jika harus mengerjakan tugas dalam berkelompok, apalagi kelompok dipilih oleh guru. Aku hanya takut jika satu kelompok dengan Bagas.

  "Baiklah, kelompok pertama barisan Meila ke belakang. Ke dua barisan Fajar ke belakang. Ke tiga barisan Sari ke belakang dan ke empat barisan Ucok ke belakang." Jelas Bu Meli. Dan itu semua jelas-jelas membuat aku kehilangan jantung-mati dong-. Tanganku mulai dingin. Aku satu kelompok dengan Ucok si transparan karna terlalu jujur, Devi si cuek bebek karna tiada hari tanpa manyun, Ardi si kutu buku tapi genitnya ngalahin om-om penikmat janda dan BAGAS si pria yang akhir-akhir ini membuat jantungku berdebar tak karuan! Oh my God, help me!  Okay, Bi. Keep calm and you're so beautiful. So, jadikan dia temanmu karna dia tidak punya salah apa-apa untuk kau benci batinku. Aku pun menghela nafas panjang, mencoba untuk biasa saja seperti dulu tapi kali ini aku tidak akan menganggap Bagas patung lagi.

  Ucok memanggil kami untuk merapatkan tugas tersebut. Kami membentuk lingkaran di sekitar bangku Ucok. Tak ku duga Bagas berdiri disebelahku, mengapa aku jadi salah tingkah begini? Padahal dulu aku biasa-biasa saja dengannya bahkan masa bodoh.

  "Okay, jadi kita bakalan buat konsep drama yang paling bagus diantara kelompok lain." Kata Ucok dengan percaya diri.

  "Jadi rencana lo apaan, Cok?" Tanya Devi. Mereka ini aneh sekali. Padahal mereka berpacaran tapi aku melihat mereka tidak ada kemesraannya sama sekali. Yah, mungkin karna disekolah saja tapi mana kita tau dirumah mereka berbuat apa-hehe-.

  "Nanti gue mikir dulu, jadi ntar sore kita kumpul lagi di rumah gue. Jam 4? Okay?" Ucapnya. Kami semua pun mengangguk lalu kembali ke tempat duduk masing-masing. Mendengarkan setiap aspek penilaian yang akan di nilai oleh Bu Meli.

Bagas POV
  Aku menatapnya dari belakang. Rambut hitam yang ia ikat satu, menampakkan leher jenjangnya. Telinga yang polos tanpa anting-anting. Lekuk tubuh yang dibalut dengan seragam agak ketat miliknya, membuat darahku berdesir. Aku menggelengkan kepalaku saat pikiran aneh mulai merasuk-dasar lelaki-. Sudah setengah tahun lebih dia duduk di hadapanku dan baru kali ini aku menatapnya dengan intens. Aku hanya berharap ini adalah awal yang baik untuk kami, 'berteman' meskipun dalam tugas kelompok, aku sudah berusaha biasa saja tapi jika mengingat suaranya yang membaca sajak tadi membuatku seperti...mengaguminya? Aku masih meragukan perasaan ini. Memang selama ini dia membenciku tapi aku tidak membenci dia, aku hanya kesal dengan tingkahnya yang memghindariku. Entahlah, aku akan menjalaninya saja sekarang. Good luck for us!

I Believe About DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang