Hueningkai belum genap delapan tahun saat sang ibu mengatakan bahwa mereka akan pindah ke tempat kelahiran sang ibu, dia juga semakin tidak mengerti saat sang ayah hanya memberi pelukan dan pergi setelah mengantar dia dan ibunya ke bandara.
"Ayah kenapa gak ikut pulang juga Bu?" Keingintahuan Kai tentu saja meluap.
"Ayah masih punya kerjaan di sini. Nanti kalau ayah udah gak sibuk bakal pulang ke Seoul juga kok ketemu kita. Kai sama ibu dulu ya, berdua. Jangan tinggalin ibu."
Kai mengangguk dan memeluk ibunya erat, dia tak pernah melihat sang ibu menangis sejauh ini.
Kapan ayah pulang? Frasa itu tak pernah lagi Hueningkai ucapkan pada sang ibu selang satu tahun setelah mereka menempati sebuah rumah di pusat kota.
Dia tahu bahwa kedua orangtuanya berpisah dan tak mungkin bisa kembali seperti dulu lagi.
Hueningkai masih terlalu awan dengan urusan orang dewasa.Kai juga sudah terbiasa saat tetangga sebelah rumahnya teramat baik untuk mengajak dia bermain di sana.
Ada tiga kakak laki-laki, dua kakak yang jauh lebih tua dan satu kakak yang terbilang lebih memberi perhatian dan selalu berbagi apapun dengannya dan memperlakukan Kai seperti bayi.Hueningkai sudah baik-baik saja meskipun sedikit rasa benci pada sang ayah terpercik di hatinya.
Ayahnya tak pernah menghubungi Kai setelah itu.
Kai amat sangat beruntung karena sang ibu adalah wanita yang tangguh dan selalu bekerja keras untuk mencukupi kehidupan mereka berdua."Kai-ya, bulan depan ulangtahun kan? Ada yang pengen kamu beli?" Sang ibu bertanya saat dia dan sang anak sedang menikmati makan malam, Jung Soori bersyukur karena dinas luar kotanya lebih sedikit dari bulan lalu sehingga dia bisa membuatkan makan malam dan lebih sering di rumah sejak sore.
"Gak ada sih Bu, lagian uang jajan dari ibu juga jarang aku pake. Gimana kalau kita makan malam undang keluarga ayah sama ibu Choi? Pesen makanan aja bu."
"Ide bagus, kalau waktunya ada biar ibu yang masak sendiri. Nanti ibu belikan baju aja, pasti banyak kan yang udah kekecilan," Soori sedikit menyesal karena dia tak bisa memperhatikan tumbuh kembang sang anak tunggalnya sejak dia dan ayah Kai bercerai, Soori sibuk membangun karir agar hidup mereka tak kekurangan dan Kai bisa bahagia meskipun dengan orang tua tunggal.
"Terimakasih banyak Bu, makasih udah bahagiain Kai. Maaf kalau aku belum bisa jadi anak yang baik."
"Kamu ngomong apa sih, Kai bisa sebesar dan setegap ini aja ibu udah bahagia, kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang sama ibu. Lalu, makasih juga karena gak ninggalin ibu," seharusnya acara makan malam itu tak perlu ditambah dengan derain air mata, tetapi sudah sejak lama Soori tak mencurahkan isi hati yang menumpuk sejak sepuluh tahun terakhir. Dia hanya ingin hatinya lebih lega.
_____
"Selamat sore Bu, Gyu bawa cupcake buat cemilan. Tadi aku pulang cepet jadi bisa bikin deh," Beomgyu menyerahkan sebuah kotak kepada ibu dari kekasihnya itu.
"Makasih banyak Gyu-ya, mau ketemu Kai kan? Dia lagi belajar di kamar. Nanti sekalian aja makan malam di sini."
"Padahal Kai biasanya ke rumah sebelah. Ibu sama ayah juga udah di rumah, gak enak kalau gak makan bareng mereka," tolak Beomgyu sopan.
"Gak apa-apa kok. Ujian masuk universitas Kai tinggal beberapa bulan lagi. Syukur kalau dia jauh lebih tanggungjawab sama tugasnya sendiri."
"Ya udah, nanti malem aja Bu aku ke sini lagi, aku pulang dulu," Beomgyu urung untuk menemui Kai sekarang.
"Gyu-ya."
"Iya?"
"Makasih udah perhatian banget sama anak ibu, apa kalian serius? Kai udah sedikit cerita tentang kalian," Soori tidak keberatan sama sekali kalau Choi Beomgyu menjadi pilihan sang anak.