🍁 Happy Reading 🍁
"Untukku, tidak ada hal yang lebih istimewa dari perhatian yang sosok ayah berikan. Jadi, bolehkah aku memiliki hal istimewa yang bersemayam di tubuhmu itu?"
~ Aurum ~
Jarum pendek pada jam dinding sudah menyentuh angka dua, sangat larut malam untuk ukuran tidur bagi seorang gadis. Sebenarnya malam ini Aurum sedang tidak bisa tidur. Entah karena apa. Bahkan ia sudah berguling-guling dan berganti posisi berulang kali namun kantuk tak kunjung datang.Akhirnya Aurum duduk di sofa sembari minum air putih. Tiba-tiba wajah Aiven beterbangan dalam lamunannya. Akhirnya ia memutuskan menghampiri Aiven.
Aurum sangat berhati-hati dalam membuka pintu serta melangkah. Saat ini posisi tidur Aiven miring sembari memeluk guling, menghadap langsung pada pintu. Gadis itu dapat melihat dengan leluasa wajah yang biasanya dingin, namun sekarang terlihat damai seperti bayi.
Aurum duduk bersila dengan kepala disandarkan di tangan kanan yang bertumpu pada ranjang, sedangkan tangan kirinya mengelus pipi Aiven pelan.
Gadis berambut panjang sepinggul serta bermata cokelat itu mengamati Aiven lama dalam diam. Setelahnya ia menghela napas lelah.
"Kak, aku harus apa sih supaya kakak sayang sama aku? Aku kan juga mau kaya temen-temen dan orang lain di luar sana. Aku nggak seperti apa yang kakak pikirkan selama ini."
Meskipun samar, Aurum yakin kesunyian malam membuat suaranya sampai ke telinga Aiven. Aurum tak peduli jika Aiven sadar--mendengar suaranya dengan jelas-- asalkan matanya tetap terpejam. Sungguh, ia tidak berani menatap mata penuh kebencian itu lebih lama lagi. Jadi, biarlah semua seperti ini untuk sementara.
Aurum berdiri, kemudian membungkuk mendekati telinga Aiven. "Kak, jangan buat aku pergi dalam keadaan menyerah, ya. Karena kalo sampe itu terjadi, aku jamin kakak gak akan dapetin aku dengan mudah lagi." Lantas gadis itu tidur memeluk tubuh Aiven yang membelakanginya.
Semoga dengan mereka tidur bersama malam ini, menjadi suatu awal yang baik. Ya, semoga.
🐾🐾🐾
Saat ini Aurum tengah meneliti pakaiannya di depan sebuah cermin. Rok rempel panjang abu-abu, baju putih kebesaran, rambut digerai dengan sebagian kecil rambut dikedua sisi dikucir dibelakang, dan beberapa atribut pelengkap sekolah pertamanya hari ini setelah kemarin Maria membawanya berkeliling mall.
Tinggal satu yang kurang, semprotan parfum. Saat mengambil parfum dalam lemari, tangannya tak sengaja menyenggol kotak hitam hingga jatuh dan retak. Aurum mengambilnya. Itu sebuah kalung perak dengan berliontin petir. Lalu dia memakainya dan dimasukan dalam seragam.
"Aku menganggapmu teman, bukan jimat keberuntungan," ujarnya sembari mengusap liontin itu dengan tersenyum.
Mungkin hari ini akan menjadi hari yang melelahkan bagi Aurum sebagai murid baru, adaptasi. Di sekolah lamanya, dia adalah tipe siswa yang sulit bergabung dalam suatu frekuensi kelompok. Dia lebih suka berteman dengan satu atau dua orang untuk membentuk kelompok kecil pertemanan dengan frekuensi yang sama.
Karena di SMP dulu, dia merasa selalu diabaikan karena tidak mengerti topik salah satu kelompok dalam kelasnya. Sungguh miris, kelasnya tidak kompak karena kelompok, katakanlah geng. Itu cukup untuk membuatnya tau diri.
Saat turun tangga, rupanya dia menjadi personil yang terakhir datang. Tiba-tiba ide jahil terlintas dipikirannya.
"Pagi, Kak." Dengan lancang Aurum mencium pipi kiri Aiven lalu duduk di kursi samping kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
R I V E R
Teen FictionTidak. Aku tidak sanggup menatap mata penuh kebencian itu lebih lama. Seolah akulah pelaku sebenarnya. Apakah Si Gila itu menurunkan karmanya padaku? Tidakkah lelaki itu sadar? Di lain sisi, ada mata yang menatapku penuh rindu. Dimensi rindu dari ma...