🍁Happy Reading🍁
"Setiap manusia pasti memiliki batas kesabarannya tersendiri. Dan saat ini, kamu sudah melampaui batas itu. Maka, aku menyerah"
~ Aurum ~
"AURUM!"
Seorang cowok dengan mimik wajah marah menghampiri dimana Aurum berdiri. Sedangkan River disebelahnya mengernyit tak mengerti.
"Mini market-nya pindah kemana sih sampe lo gak pulang-pulang, hah?" tanyanya sinis dengan tangan didalam saku celana.
"Kak Aiven," gumam Aurum.
"Eiden pulang ya? Udah dicari mama." Aiven mengambil Eiden dari gendongan adiknya meski tau bocah itu enggan diajaknya pulang. Tapi bocah yang mengerti situasi itu hanya bisa menurut karena takut melihat wajah merah kakak tertuanya.
Sedangkan River tau diri, lalu dia menjauh beberapa langkah saat perasaannya merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Kembali pada perseteruan dingin kakak adik tersebut, kini Aiven mencondongkan tubuhnya untuk menyamai tinggi adik perempuannya kemudian berbisik ditelinga. "Kalo lo mau jadi pelacur, jangan ngajak bocah. Nanti gak ada yang mau." Begitulah bisikan kejam Aiven.
Seketika Aurum menegang, tubuhnya seperti tersiram ribuan liter air dingin. Tangannya mengepal kuat, napasnya memburu menahan emosi, sementara mata indahnya memanas siap melelehkan berlian asin yang cair.
Dengan refleks, tangan gadis itu mendarat mulus di pipi Aiven yang mulai menegakkan badan perlahan hingga menimbulkan suara nyaring. Bahkan saking kerasnya, sampai membekas cap merah tangan Aurum.
Sebenci itukah Aiven padanya? Tidak maukah dia membuka hati dan lembaran baru? Mengikhlaskan semua yang terjadi?
"Wow!" gumam River. Meski dia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi dia melihat dengan jelas layangan tangan gadis berambut panjang itu.
Aurum menatap kecewa cowok didepannya. "Kakak boleh bicara apapun semau kakak sama aku. Tapi, aku nggak bisa menoleransi ucapan kakak barusan," kata Aurum serak khas orang menangis.
Aiven masih berdiri di tempatnya, menatap datar adiknya tanpa ringisan rasa sakit lalu terkekeh mengejek. Lantas melenggang pergi begitu saja meninggalkan adiknya tak peduli.
Melihat Aiven yang seperti ini, Aurum mengurungkan niatnya untuk menjelaskan semua yang terjadi, termasuk gangguan geng rusuh tadi. Sudahlah, ia tak peduli.
Aurum merentangkan kedua tangannya. "GUE MENYERAH, AIVEN LEOVELLO! GUE MENYERAH! DAN GUE BENCI SAMA LO!"
Dengan ini, Aurum benar-benar menyatakan menyerah mengemis perhatian Aiven. Toh, tidak ada kemajuan apapun. Aiven sangat membencinya. Sebesar apapun perhatiannya pada cowok itu, kabut hitam dendam dihatinya tidak akan pernah pudar kecuali keajaiban yang mengubahnya atas izin Tuhan.
Aiven berhenti sejenak, menoleh sekilas, lalu melanjutkan perjalanannya.
Aurum menjatuhkan tubuhnya, terduduk diatas hitamnya aspal. River pun iba, lalu datang dan mengulurkan tangan dihadapan Aurum. "Ayo bangun!"
Aurum menerimanya. Dia baru ingat jika ada orang lain saat pertengkarannya terjadi tadi. Entah setan apa yang membisiki Aurum hingga gadis itu berani memeluk River dengan lancang, setelahnya ia kembali menangis sesegukan.
River membelalakkan matanya. Ini adalah pelukan pertamanya dengan wanita selain mamanya, bahkan sepupu dan wanita dikeluarganya sekalipun belum pernah dipeluknya. Setelah beberapa saat, baru River balas memeluk Aurum meski sedikit kaku dan ragu. Dia juga membelai surai hitam panjang beraroma strowberri tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
R I V E R
Teen FictionTidak. Aku tidak sanggup menatap mata penuh kebencian itu lebih lama. Seolah akulah pelaku sebenarnya. Apakah Si Gila itu menurunkan karmanya padaku? Tidakkah lelaki itu sadar? Di lain sisi, ada mata yang menatapku penuh rindu. Dimensi rindu dari ma...