⚡7 || Tentang Jarak⚡

14 2 1
                                    

🍁Happy Reading🍁

"Tanpa kamu sadari, kita tengah mengulang yang pernah terjadi dalam versi yang berbeda"

~ River Reinder ~

Setelah kejadian tadi, Aurum sedikit menjaga jarak dari Aiven. Kontak fisiklah yang menjadi alasannya, ia sedikit risih untuk hal itu. Saat ini semua orang di rumah itu masih menikmati sarapan.

Tiba-tiba Aji menyodorkan dua buah kunci, tapi entah kunci apa dan dua buah kartu rekening. "Motor kalian ada di garasi dan kartu itu sudah papa isi."

Aiven mengernyit tidak suka, berniat menolak. "Tapi pa--"

"Tidak ada tapi-tapian!"

Aiven menghembuskan napas pasrah. Dia mengambil kedua barang itu kemudian Aurum mengikuti hal serupa.

"Pa, Ma aku mau cari kerja," kata Aiven.

"Oh, ya? Bagus itu, bagus. Mau langsung kerja di perusahaan papa?" Aji menaggapinya dengan antusias.

"Enggak pa, aku mau mulai dari bawah dulu. Kalo aku sudah layak, mungkin bisa dipertimbangkan lagi untuk kerja di perusahaan papa."

"Jika kamu mau, sekarang juga bisa, Ai."

"Tapi aku mau kaya karyawan lain yang butuh interview dan melakukan prosedur sebagai calon karyawan. Sementara itu, aku akan cari kerja kecil-kecilan. Di bengkel mungkin."

"Kalau itu keputusan kamu, papa sama mama dukung." Aiven tersenyum kecil mendengar dukungan kedua orang tuanya.

"Aku juga mau kerja, pa," celetuk Aurum tiba-tiba.

Maria dan Aji menatap aneh putri mereka. "Papa tidak mengijinkan. Kamu harus fokus dulu dengan sekolahmu, Aurum. Berbeda dengan kakak kamu, dia 'kan kerja karena memang masuk kuliah masih Oktober, juga sudah bisa membagi waktu."

"Nanti ada waktunya, sayang," kata Maria.

Aurum menunduk lesu, lalu melirik ke Aiven. Dan laki-laki itu sedang tersenyum miring ke arahnya sekarang. Dasar sialan!

Rupanya Maria melihat hal tersebut, matanya memicing curiga. "Kalian tidak melakukan taruhan atau hal semacamnya untuk saling menyakiti 'kan? JAWAB!"

Maria membentak, menaikkan suara beberapa oktaf dan dibarengi dengan menggebrak meja kayu itu. Sontak keempat manusia lainnya terkejut. Sampai-sampai Eiden yang dari tadi anteng menjatuhkan sendoknya menimbulkan dentingan nyaring.

"Tidak."

"Iya."

Mereka menjawab bersamaan. Aiven menjawab 'tidak' guna menutupi namun Aurum malah menjawab 'iya' saking terkejutnya, tentu Maria tambah curiga.

Buru-buru Aurum meralat ucapannya. "Ekhem! Enggak kok, Ma. Enggak."

Setelahnya Aurum menyalami tangan Maria dan Aji, mengabaikan Aiven. "Aku berangkat Ma, Pa. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Entah kenapa saat Aurum melihat senyum papanya terasa sangat menyebalkan, seperti ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun gadis itu mengabaikannya.

"PAPAAAA!" teriak Aurum setelah sampai di garasi.

Lihatlah, disana terpampang dua motor sport hitam yang dia duga miliknya dan milik kakak iblisnya. Tapi, masalahnya kenapa Aji tidak memberitahunya meski dia tahu Aurum menggunakan rok panjang?!!! Untung papa sendiri.

Aurum kembali masuk, melihat Aji yang masih tersenyum geli. Gadis itu menatap papanya sebal, lalu berdecak tatkala melihat jam tangannya sudah pukul 06.55, sudah dipastikan dia akan terlambat. Waktu lima menit sepertinya hanya berlaku jika berteleportasi seperti cerita fiksi. Tapi itu tidak mungkin.

R I V E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang