⚡Prologue⚡

44 8 0
                                    

Hai, Zeners! Ini cerita pertama Zen. Semoga suka, ya! Udah ah, segini aja cuap-cuapnya, ya hehe.

°
°
°

🍁Happy Reading🍁

"Rahasia-rahasia itu akan terkuak seiring berjalannya waktu. Dan saat ini, waktu itu hampir tiba"

~ Someone Old ~

Seorang gadis berjalan di pinggir jalan dengan tatapan kosong; melamun. Berbagai masalah beterbangan di pikirannya hingga rasanya kepalanya akan pecah seketika.

Tanpa disadarinya, ada sepasang mata yang menatap penuh kebencian dirinya dari atas jok kemudi. Menginjak gas dan rem dalam-dalam bersamaan, bersiap, kemudian melaju dengan begitu kencang.

Sepasang mata lain yang melihatnya langsung membulatkan mata, berlari keluar dari persembunyiannya secepat kilat untuk menyelamatkan gadis itu.

BRUK!

Gadis itu jatuh dipelukan seorang cowok gondrong bermasker dengan mata cokelat keemasan. Mereka saling pandang beberapa saat dengan detak jantung tidak beraturan sebagai irama pengiring.

Sedangkan seseorang yang berusaha mencelakai gadis itu dengan mobil mewahnya berdecak kesal karena rencananya gagal. Lantas pergi dengan perasaan dongkol.

"KAMU MAU MATI, HAH?!" teriak frustasi cowok itu.

Gadis itu tersentak lalu menunduk menyesal. "Maaf dan makasih," cicitnya.

Menghembuskan napas pasrah, cowok itu membantu gadis itu untuk berdiri dan membawanya ke kafe terdekat untuk menenangkan diri. Beruntung tidak ada korban jiwa atas insiden gila tadi.

Cowok tadi langsung pergi untuk membuat sendiri pesanannya; minuman cokelat dingin. Tidak lama kemudian ia datang dengan segelas minuman cokelat dingin di tangannya.

"Minum dulu," ujarnya seraya menyodorkan minuman itu.

"Makasih." Gadis itu langsung meminumnya.

"Kamu terlihat banyak masalah. Ingin berbagi? Oiya, sebelumnya kenalkan saya Eiro Karelion." Cowok yang terlihat lebih tua beberapa tahun darinya itu tersenyum begitu manis. Namun gadis itu justru menunjukkan air muka yang terlihat tidak nyaman dengan orang asing ini.

"Aku Aurum. Dan maaf, rasanya agak aneh kalo langsung berkeluh kesah sama orang asing kaya kamu."

Bukannya marah, Eiro malah terkekeh ringan. "Bagus, bagus. Jika begitu, biar saya saja yang cerita. Tolong dengarkan ya?"

Menatap wajah penuh harap itu, Aurum jadi tidak tega. Akhirnya ia mengangguk, lagipula hanya mendengarkan dan sedikit berkomentar.

"Melihat wajahmu, ... saya jadi teringat dengan adik perempuan saya. Dibeda-bedakan orang tua kami, itu rasanya sakit. Hingga saya merasa iri dengannya. Saya marah, dan tidak segan-segan untuk kasar ke dia."

Sejenak, Eiro memperhatikan wajah Aurum. Gadis itu melamun, arah matanya kosong saat mendengarkan meskipun tatapannya mengarah ke Eiro.

"Tapi dia tetap mendekati saya. Hingga suatu ketika nasehat seseorang berhasil nampar saya. Saya berniat minta maaf, tapi saya tidak sengaja melukai hatinya. Dan akhirnya dia pergi dari rumah, tanpa pulang hingga saat ini."

"Menurutmu, apakah saya pantas dapat maafnya dengan latarbelakang iri hati?"

Aurum menjawab. "Mungkin kamu gak bisa nyeritain secara mendetail, tapi aku yakin dia maafin kamu, kok. Selama kamu bener-bener tulus mau memperbaiki semuanya. Aku yakin, dia deketin kamu karena ayah kalian."

Eiro mengernyit tidak paham. "Ayah?"

"Kamu bilang kalian dibeda-bedakan? Disaat kalian berada di sisi tidak adilnya kehidupan, mungkin dia menganggapmu sederajat; sama-sama korban. Dia tidak punya pelindung, kecuali kamu sebagai duplikat dari sosok seorang ayah. Hanya itu yang dia mau." Aurum merespon dengan suara serak, dan itu disadari Eiro. Hingga berlian cair itu meluncur di pipi Aurum.

"Eh, kenapa kamu menangis? Yang harusnya menangis itu saya, meski itu tidak mungkin," ujarnya sambil berpindah tempat duduk disamping gadis yang baru ditolongnya. Lalu merangkulnya, membiarkan air mata gadis itu membasahi kaosnya.

Aurum kemudian bercerita dalam dekapan asing yang menenangkan itu, meski isakan tangisnya mengganggu. "Kisah kita hampir sama. Aku membenci dan menyayangi kakakku, aku sudah kehilangan sosok ayah meskipun ada penggantinya. Tapi, dialah duplikat ayah."

"Jadi, yang salah kakakmu?" Aurum mengangguk.

"Seandainya kakakmu minta maaf atas kejadian menyakitkan di masa lalu, kamu mau memaafkanya?" Aurum kembali mengangguk.

"Katakan!"

"Iya, aku bakal maafin kakakku." Terdapat raut puas di wajah Eiro yang tidak dapat dilihat Aurum.

"Berjanjilah pada saya bahwa kamu akan selalu menyayangi kakakmu apapun yang terjadi. Dan berdoa untuk kepulangannya, hidupnya, dan ikatan persaudaraan kalian. Karena saya sudah merasakan sakitnya, jadi kamu jangan sampai mengulanginya, ya?"

"Bahkan sebelum berjanji, aku bakal lakuin itu tanpa diminta, kok. Aku sayang dia, tapi aku malu, canggung, dan takut. Takut kalo dia kasar lagi."

Eiro mengelus rambut Aurum dengan sayang. "Kalau begitu, kamu mau simulasi ke saya?"

Aurum mengernyit. "Maksudnya?"

"Saya yatim piatu, adik saya pergi entah kemana. Saya sebatang kara. Kamu mau 'kan menjadi penggantinya?"

"Aku--" Aurum menatap Eiro penuh pertimbangan.

"Kamu perlu simulasi 'kan?"

"Aku takut suka sama kamu. Sedangkan aku udah punya pacar. Bagaimanapun aku juga perempuan normal," cicitnya.

Eiro tersenyum. "Saya pastikan rasa itu tidak akan pernah tumbuh diantara kita," ujarnya mantap.

Saat itu, pikiran Aurum sedang tidak sinkron. Hingga ia menyanggupi permintaan Eiro tanpa dapat menangkap maksud terselubung dalam ucapannya.

°°°

Halo, Zen di sini. Dengan siapa dimana?

Gimana sama prologue-nya?
Masih mau lanjut nggak? Iya nggak, iya nggak, iyalah masa enggak!

Don't forget to follow, vote, coment, and share this story!

Tertanda,
Zen🍁

Lampung, 31 Agustus 2021

R I V E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang