🍁Happy Reading🍁
"Semuanya terlalu sakit untuk kita alami. Hingga tanpa sadar aku mengubah yang nyata jadi mimpi, untuk sekedar menghindar."
~ Aurum Leoverra ~
Aurum berdiri dengan menunduk pasrah. Aji dan Maria menatapnya tajam. Ditambah pakaiannya yang beraroma maskulin khas lelaki. Juga motor sport yang bukan berwarna hitam, tetapi merah.
"Papa tidak mengekang kamu dengan banyak larangan. Tapi bukan berarti kamu bisa semena-mena seperti ini! Pulang larut malam tanpa kabar. Dan lihat pakaian yang kamu pakai, itu pakaian lelaki kan? Jawab!"
"Iya, Pa." Aurum menyesal mengiyakan permintaan River tadi sore. Harusnya ia meminta lelaki itu langsung mengantarnya ke rumah setelah dari bengkel. Sekarang ia harus merasakan getahnya.
"Jelaskan!" titah Aji. Aurum menjelakannya dari awal hingga akhir tanpa ditambah ataupun dikurangi.
Setelah mendengarnya, tatapan Aji dan Maria sedikit melunak. Namun tetap tidak meninggalkan sorot mata tajam kecewanya.
"Renungkan semua yang terjadi, di kamarmu!" ujarnya.
"Maafin Aurum, Pa," cicitnya sebelum pergi. Aji menghempaskan tubuhkan di sofa dan menyandarkan kepalanya.
Sayup-sayup Aurum masih mendengar kalimat yang terucap dari orangtuanya. "Seharusnya aku mengambil mereka lebih cepat."
"Semuanya udah diatur sama Tuhan, Mas. Coba kita lihat kebelakang, banyak hikmah dibalik setiap peristiwa. Kita hanya perlu dikit menyusun ulang." Kemudian mereka saling merangkul tanpa Aurum ketahui.
Aurum mempercepat langkahnya di beberapa undakan tangga teratas. Pegangan tangannya pada sisi tangga terlepas saat melihat sandal rumahan di depannya--undakan tangga yang akan ia injak.
Menghentikan langkahnya sejenak, gadis itu kemudian mendongak. Mengamati sebentar wajah kaku yang menatapnya dingin tersebut. Aiven. Kemudian melaluinya melewati sisi lain tubuh cowok itu.
Pemandangan pertama yang tersaji sesaat setelah pintu kamarnya terbuka adalah Eiden yang tidur memunggunginya.
Menutup pintu perlahan. Kemudian ke kamar mandi membasuh muka, tangan dan kaki. Lantas tidur menghadap Eiden dan mengusap dahi bocah itu dengan jari telunjuknya. Lambat laun kantuk membelainya hingga mata itu tertutup.
🐾🐾🐾
Saat ini Aurum tengah duduk di kursi taman yang sepi. Terik sinar sang surya tidak serta merta membuatnya beranjak dari sana. Hingga tak lama kemudian suara pecahan kaca menyapa indera pendengarannya.
PRANG!!! Sejurus kemudian ia langsung menghampiri rumah di belakangnya, dimana suara tadi berasal.
"DASAR BODOH! BAGAIMANA BISA NILAI MATEMATIKAMU 80! MATERINYA MUDAH, SEHARUSNYA KAU MENDAPAT NILAI SEMPURNA, SIALAN!!!"
Jantung Aurum berdegup kencang lantaran suara beroktaf tinggi itu. Diintipnya lewat kaca yang tirainya tersampir, di ruang tamu itu terdapat wanita paruh baya yang berdiri, memaki seorang gadis kecil yang hanya duduk menunduk--menatap meja belajarnya. Jangan lupakan suara pecahan kaca tadi, itu rupanya gelas. Dan sebagian serpihan kacanya mengenai bocah itu, hingga kakinya terdapat segaris luka yang terlihat seperti benang merah.
Tak lama kemudian, wanita paruh baya yang diragukan mentalnya itu pergi dengan wajah padam dan masam.
Aurum terpaku, gadis tadi tidak menangis. Hanya memandang kosong luka di kakinya. Buru-buru ia membereskan kekacauan itu sebelum seseorang datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
R I V E R
Teen FictionTidak. Aku tidak sanggup menatap mata penuh kebencian itu lebih lama. Seolah akulah pelaku sebenarnya. Apakah Si Gila itu menurunkan karmanya padaku? Tidakkah lelaki itu sadar? Di lain sisi, ada mata yang menatapku penuh rindu. Dimensi rindu dari ma...