⚡8 || Rumah River⚡

6 0 0
                                    

🍁Happy Reading🍁

"Dia pernah meraih setitik kebahagiaan kecil sama lo. Dan ketika pusat kebahagiaannya runtuh, dia cari lo lagi. Berharap kebahagiaan kecil itu terus ada, mengalir bagaikan air."

~ River Reinder ~

Sedari tadi, mulut Aurum tiada henti menggumam di sela lelahnya mendorong motor sport. Dari mengumpat kemudian beristigfar. Jadi, begini ceritanya.

Karena besok jadwalnya piket, Aurum dan teman piketnya sepakat untuk piket setelah pulang sekolah agar besok bisa santai, tidak buru-buru. Hingga semua murid telah pulang, hanya tinggal ia sendiri.

Awalnya, semua baik-baik saja sebelum ia mengendarai motornya dan berkendara sejauh beberapa meter. Kemudian, ia temukan kejanggalan. Rasanya seperti tidak nyaman, lalu ia turun. Memperhatikan bagian mana yang salah yang motornya.

"Innalillahi, Gusti," ujarnya setelah melihat sebuah paku payung bertengger manis di ban motornya.

Aurum benar-benar lemas sekarang. Sudah datang terlambat, dihukum lari keliling lima putaran yang lapangannya mirip stadion, tangannya sakit karena mencabut rumput, uang jajannya habis untuk isi tenaga, ditambah ponselnya low bat. Dan sekarang, harus mendorong motor entah sampai mana, hingga bertemu bengkel tentunya. Untungnya sekarang masih jam setengah empat sore, masih terang dan ramai orang pulang kerja. Mau tidak mau, ia harus mendorong motornya.

"Ngenes e tho," gumamnya miris.

Langkah demi langkah sudah Aurum tempuhi. Hingga suara klakson motor memekakkan telinga membuatnya naik pitam, kesal, sekaligus menahan tangis karena lelah.

Aurum menurunkan standar motor, lalu meraih helm kemudian melemparnya pada orang yang mengusiknya barusan. Namun dengan cekatan orang itu melepas tangan dari setang untuk menangkap helm tersebut. Mematikan mesin motor, lalu menghampiri gadis malang itu.

Aurum membuang muka saat orang itu melepas helmnya. Entah ada apa dengannya hingga ingin menjauh, padahal mereka tidak ada masalah apapun. Ia hanya beranggapan bahwa tidak ingin sakit hati lagi dengan harapan yang sama. Ia menghembuskan napas frustasi tentang pemikirannya.

“Sini gue aja yang dorong motor lo.” River sudah menaikkan standar-nya, siap mendorong.

“E-eh, Kak gak usah,” tolak Aurum. Ia malu, sungguh. Padahal baru saja ia bertindak kasar, dan dengan baiknya River mau membantu.

River menatapnya tajam. “Jangan keras kepala, bisa?” Akhirnya Aurum menganggukan kepala pasrah. Ia sungguh lelah sekarang.

“Lo pake motor gue. Biar gue yang dorong motor lo.” River kemudian memberikan helm Aurum yang ditangkapnya tadi. Mereka berjalan dalam diam tanpa obrolan yang justru membuat mereka nyaman, tanpa canggung. Dengan River di depan diikuti Aurum dibelakangnya yang berjalan perlahan.

Mereka baru menemukan bengkel setelah kurang lebih setengah jam kemudian. Aurum memarkirkan motor, lalu ikut masuk ke dalam bengkel.

“Motornya kenapa, Mas?” kata salah seorang karyawan bengkel.

“Bocor, Bang. Ketusuk paku.”

“Ini perlu ganti ban dalem. Mau ditunggu apa ditinggal?”

“Saya tinggal deh. Nanti saya ambil ya, Bang.”

“Siap!”

Aurum hanya menyimak percakapan itu. Hingga ia mengedarkan pandangan dan mendapati seseorang familiar berseragam yang tengah mengutak-atik mesin motor. Pandangan mereka bertemu selama beberapa saat. Lalu cowok itu membuang muka dan melanjutkan pekerjaannya.

R I V E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang