Bab 5 - Kakak, Kanselir Mencoba Mendekati Mirza

41 33 13
                                    

"Nih, buku lo," kata Gunay sembari dengan sengaja meletakkan buku di atas kepala Kanselir. Entah apa tujuannya.

"Woi njir, gue belum selesai nyalin ini!" protes Dimas tak terima buku itu diambil begitu saja, padahal dia masih belum selesai menyalin.

Dimas seringkali heran dengan kecepatan menulis Gunay yang sangat tidak manusiawi. Jelas-jelas dia habis bertengkar dengan Kanselir, tiba-tiba sudah selesai saja menyalin buku itu padahal Dimas sendiri belum menyelesaikan setengahnya.

"Salin punya gue aja, nih." Gunay menyodorkan bukunya ke arah Dimas dan teman-temannya yang masih menatapnya heran.

"Lo ... udah selesai nyalin?" tanya salah seorang di antara sekumpulan penyalin tugas itu.

Gunay menjawab dengan bangga, "Udah, dong."

Mereka semua serempak ber-wow ria, lalu mengalihkan pandangan mereka bersama melihat mahakarya indah Gunay.

"Astaghfirullah," ucap mereka serempak melihat mahakarya itu.

"Tulisan lo rapi banget, Bang, kayak tulisan dokter, mana sanggup hayati menyalinnya?"

"Semut yang berbaris di dinding aja jauh lebih rapi daripada ini."

"Gue lihatnya kok kayak detak jantungnya orang yang lagi sekarat, ya?"

Kening Gunay berkerut mendengar pernyataan-pernyataan menghina tersebut, dia menyodorkan kembali bukunya dengan paksa.
"Sialan lo semua, masih kebaca kok ini, nih! Gak usah lebay!"

Kanselir tak tahan lagi, ia berbalik dan dengan bermurah hati kembali menyodorkan kembali buku tulisnya yang tadi dikembalikan Gunay dengan tidak etis. Merasa tak sanggup mendengarkan ocehan mereka lebih lama lagi.

"Berisik banget sih kalian, nih salin lagi aja! Buruan, ya, ntar lagi bel soalnya."

"Makasih, Beb," seru Dimas merasa senang.

Gunay yang mendengar kata terakhir dari mulut Dimas membuat dia melayangkan tangannya ke arah belakang kepala pemuda itu, menonjoknya dengan penuh kasih sayang.

.

.

.

Di jam pelajaran kedua—pelajaran Bahasa Indonesia, guru mereka tidak masuk kelas dan hanya menitipkan tugas. Kebanyakan dari mereka tidak peduli akan hal itu. Paling-paling dijadikan PR, pikir mereka.

Sebenarnya Kanselir juga malas mengerjakannya, Bahasa Indonesia bukanlah pelajaran yang disukainya. Tapi karena dia benar-benar tak tahu harus melakukan apa, jadinya ia pun memutuskan untuk mengerjakan saja.

Di depan kelas, di atas meja guru, berdiri seorang murid yang tampaknya akan memiliki masa depan suram sedang mengadakan konser dengan suaranya yang sumbang. Spidol ditangan kanannya ia jadikan seolah mikrofon.

"Epribadi, let sing wit mi!!"

*Everybody, let's sing with me

Teriaknya dengan tak tahu malunya mengajak murid yang lain merusuh. Ditambah dengan pronounciation-nya yang menggelikan. Siapa lagi murid yang tahu malu di kelas ini kalau bukan Gunay.

Gerombolannya yang sangat beradab pun ikut mendekat ke arah meja guru dan bernyanyi bersamanya. Berjoget-joget seperti acara dangdutan yang biasa diadakan di pinggiran kota.

"Entah aapaaa yang meraasukiimuu~" Suara emas Gunay mulai menggelegar di seluruh penjuru ruang kelas.

Kanselir menatap mereka jijik, ia beralih ke Yumna yang ternyata sedang menikmati acara dangdutan murahan itu. Mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama mereka.

Kanselir pun menghela napas kasar.

Ia menatap ke arah mereka sekali lagi, ternyata pelopor acara dangdutan itu juga sedang menatap ke arahnya sambil menunjuk dan berkata sembari menaik-turunkan alisnya, "Hey girl, let join as."

*Hey Girl, let's join us

Saat berkata begitu, tiba-tiba sesosok bertubuh besar muncul dan berdiri di pintu.

Itu adalah Pak Guru Olahraga!

Guru olahraga yang terkenal killer itu sedang menatap para dangduters itu lekat. Wajahnya datar.

"Jangan ada yang beranjak!" titahnya pada mereka semua. Jumlah mereka saat itu ada bertujuh orang dan menjadi delapan jika ditambah Gunay sebagai pelopornya.

Mereka seketika membeku, menahan napas seolah jika sekali saja mereka menghembuskan napas maka roh mereka akan berpindah tempat saat itu juga.

Gunay yang berdiri sendirian di atas meja merasa jantungnya hampir copot. Dia membeku persis seperti patung tanah liat di atas sana dengan ekspresi yang mengundang cemoohan.

Pemuda satu itu memang aneh, berlagak berandalan tapi sebenarnya sangat takut jika berhadapan dengan guru. Apalagi guru seperti pak guru olahraga yang killer ini.

"Ketua kelasnya mana?" tanya pak guru itu. Kini dia sudah masuk beberapa langkah ke dalam ruang kelas.

Dimas yang tengah berada di antara kerumunan para tersangka mengangkat tangannya takut-takut. "Sa-saya, Pak."

Melihat itu, pak guru tersebut hanya terdiam menatapnya sambil berdecak beberapa kali.

"Kalian semua, ikut saya!"
ujarnya singkat sembari berjalan melangkah keluar.

Para tersangka itu pun mengikutinya seperti sekumpulan anak bebek.

Murid lain yang sedari tadi hanya menjadi penonton bingung harus tertawa atau kasihan pada nasib mereka.

Sedangkan dalam lubuk hati Kanselir yang terdalam, ia benar-benar bahagia melihat bocah songong itu akhirnya kena hukum.

Ia memang sudah lama sekali kesal pada bocah berandal satu itu, sejak awal mereka masuk sekolah, Gunay selalu terus-terusan mengganggu dia. Mulai dari menarik-narik jilbabnya, mengotak-atik kotak pensilnya, menyodorkan hewan-hewan aneh di depan wajahnya, merampas novelnya dengan paksa, sampai memoroti uang jajannya saat berada di kantin. Pertanyaannya, dari sekian banyak orang, kenapa harus dia yang selalu diganggu?

Gunay tidak tahu akibat dari perbuatannya itu, dia hanya senang saat melihat perubahan ekspresi di wajah Kanselir saat diganggu. Senang ketika melihatnya berteriak marah padanya.

Dari semua perbuatan menjengkelkan Gunay, sebenarnya yang paling tidak bisa Kanselir tolerir adalah saat ia baku hantam dengan Mirza. Mereka benar-benar saling tinju sampai wajah keduanya membengkak saat itu.

Bukannya ia ingin menyalahkan Gunay, dia bahkan tak tahu akar permasalahannya. Dia hanya ... hanya tak menyangka, Gunay yang tengil dan selalu usil itu punya sisi menyeramkan juga.

Kanselir tidak tahu apa sebabnya perselisihan mereka, tapi dari yang Kanselir ingat beberapa menit sebelumnya, Kanselir sempat mengajak Mirza bicara mencoba mendekati murid pendiam itu dengan memberikannya sebungkus cokelat. Siapa tahu bisa akrab trus bisa dimanfaatin pas lagi ujian, pikir Kanselir.

Saat itu masih pagi dan pelajaran belum dimulai. Mirza yang baru saja keluar dari toilet berpapasan dengan Kanselir di lorong sekolah. Di tangannya, ia menggenggam sebungkus besar cokelat yang dibawanya dari rumah.

"Mirza, nih cokelat, dibawa nenekku dari Qatar, di rumah kebanyakan jadinya aku bawain buat ka—"

Tanpa melihat sedikit pun cokelat yang Kanselir sodorkan, ia lanjut melangkah mengabaikannya.

Hati Kanselir benar-benar seperti akan retak, tapi ia masih mencoba menyunggingkan senyum. Ia mengejar Mirza dan kembali menghalangi langkahnya.

"Yakin gak mau? Ini enak loh, Za," katanya sambil menyodorkan sekali lagi.

"Gue gak suka cokelat." Mirza berucap singkat dengan menekankan setiap katanya. Berharap gadis di depannya ini paham bahwa dia sangat tak ingin diusik.

Dia sempat melangkah beberapa langkah ke depan sebelum akhirnya berhenti, berujar ke gadis itu tanpa menoleh, "Satu lagi, jangan coba-coba deketin gue. Lo, bukan tipe gue."

Gunay and His Broken Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang