Bab 13 - Kakak, Kanselir Mirip Anjing

19 12 4
                                    

Setelah Gunay membalik badan, pemandangan yang tampak di matanya adalah Kanselir yang kini berjalan mendekat ke arahnya, beserta gelang yang melilit di leher gadis itu.

Ternyata Gelang itu malah memasuki kepala Kanselir!

"Lo sengaja, ya?!" Gelang itu masih terus berada di lehernya ketika dia berjalan ke arah Gunay.

Gunay lagi-lagi menahan tawanya di mulut yang hampir saja akan meledak. Namun, akhirnya dia tidak tahan lagi dan tertawa terpingkal-pingkal sampai matanya berair.

"Eh? Ahahahahahahahhah lo malah jadi mirip anjing kan jadinya ahahahahah sakit perut gue aduhh."

Gunay memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Setelah puas menertawakannya, barulah ia berinisiatif mengulurkan tangannya ke leher gadis itu dan mencoba melepaskan gelang yang melilitnya.

"Aduh, maafin Gunay ya, Kanselir. Dia pasti gak sengaja, apa sakit?" Yanli mencoba memperbaiki reputasi adiknya di mata Kanselir sambil mewakilinya meminta maaf.

Namun, Gunay malah membantah ucapan kakaknya dengan berkata, "Gunay sengaja kok, Kak, ahahahahahahahah," ucapnya sambil terus melanjutkan tawanya semakin meledek Kanselir.

Tiba-tiba saja pipi Kanselir merona merah, seketika ucapan Gunay beberapa saat yang lalu terulang lagi di kepalanya.

Apapun yang dimasukin gelang ini, bakalan jadi milik lo.

Apa maksudnya itu? Sengaja apanya?

Kanselir menggeleng-gelengkan kepalanya, menyingkirkan berbagai prasangka yang timbul.

Setelah beberapa jam berlalu, mereka pun memutuskan untuk mengakhiri hari ini. Namun sebelum itu, mereka sempat mengabadikan beberapa momen dengan foto bersama.

Awalnya Kanselir yang meminta Yumna untuk mem-fotokan dirinya bersama Yanli. Namun saat hitungan kedua, tiba-tiba Gunay ikut menyempil di antara dua gadis itu sambil tersenyum lebar.

Tidak perlu ditanyakan apa yang terjadi setelah itu, tentu saja mereka bertengkar lagi.

"Eh, nanti fotonya kirimin ke gue, ya!" pinta Gunay.

Kanselir tengah melihat-lihat foto yang yang sedari tadi mereka ambil. Dia menjawab, "Gak!"

"Kalo gak lo kirimin, novel-novel lo gak bakal aman," ancam Gunay.

Kanselir mendengus sambil memutar bola matanya. Tidak mau menjawab lagi.

Tepat di depan gerbang utama pekan raya itu, mereka pun saling berpamitan.

"Kak Yanli, makasih ya buat waktunya, kami senang banget bisa jalan bareng Kakak." Kanselir berpamitan, "Kami pulang dulu, ya."

Kanselir dan Yumna pun berjalan menjauh sembari melambaikan tangan mereka, tersenyum pada Yanli.

Gunay tidak terima merasa di abaikan, dia berseru pada Kanselir yang sudah agak jauh, "Oy!! Sama gue kok gak pamit?"

Kanselir hanya menjulurkan lidahnya mengejek orang malang yang merasa terabaikan itu.

Gunay mendengus melihatnya.

"Huh, padahal Gunay tadi udah traktir dia banyak permainan! Gak tau terima kasih tuh anak."

Yanli tersenyum, dia merangkul pinggang adiknya mengajaknya menuju ke tempat mobil mereka terparkir. Bertanya dengan lirih dan menguak omong kosong Gunay tanpa ampun, "Bukannya tadi kamu traktirnya pakai uang kakak?"

.

.

.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam saat mereka tiba di rumah.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Gunay langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Seketika ponselnya berdering menandakan sebuah pesan yang masuk.

Gunay langsung terlonjak duduk, melihat bahwa itu adalah pesan dari Kanselir. Dia membukanya, dan ternyata itu adalah foto mereka bertiga tadi yang akhirnya dikirim Kanselir. Sepertinya dia benar-benar takut dengan ancaman Gunay tadi.

Gunay memandangi lama foto itu. Tanpa sadar bibirnya terangkat, sangat bahagia melihatnya. Di foto itu, dari arah kiri, ada kakaknya yang cantik seperti biasa selalu tersenyum, lalu di paling kanan ada gadis yang disukainya, Kanselir. Wajahnya begitu lucu dengan ekspresi sebal karena terganggu dengan kehadiran Gunay yang muncul tiba-tiba. Dan di tengah mereka berdua ada dia, yang merasa begitu beruntung, dengan kehadiran dua gadis itu di hidupnya yang hampa.

Setelah cukup lama memandangi foto itu, Gunay berbaring lagi hendak tertidur. Namun, belum sempat ia memasuki alam mimpi, seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"PR kamu udah siap belum, Dek?"

Ternyata itu adalah Yanli, dia masuk ke kamar Gunay sambil memegangi sebuah nampan perak yang di atasnya ada segelas susu.

Gunay tiba-tiba terduduk, seperti teringat akan sesuatu.

"Ah! Besok ada fisika! PR fisika Gunay belum dikerjain!!"

Dia langsung melompat dari tempat tidur dan membolak-balik tumpukan buku di meja belajarnya.

"Tuh, kan, udah kakak bilang berapa kali, kalo ada PR kerjain langsung sepulang sekolah, jangan disaat mau dikumpulin baru teringat."

Yanli meletakkan nampan itu di meja samping tempat tidur Gunay. Kemudian mendekat ke meja belajar. Lalu ia berkata lagi, "Mana PR-nya? Sini biar kakak kerjain, kamu minum susu aja sana trus tidur, kamu pasti capek seharian ini lompat-lompat terus."

Gunay sangat tahu pasti akan berujung begini, dia pun menyodorkan bukunya dan menunjukkan pada kakaknya apa yang harus dikerjakan.

Yanli pun duduk di kursi belajar Gunay dan mulai menulis.

Di belakangnya, Gunay masih nampak terdiam, memandangi kakaknya.

"Kak ...."

"Hm?" Yanli bergumam tanpa menoleh.

Tiba-tiba sepasang tangan memeluk lehernya erat dari belakang.

"Gunay sayang banget sama Kakak."

Tanpa sedikit pun terkejut, Yanli menjulurkan tangan kirinya mencapai puncak kepala pemuda tujuh belas tahun namun berjiwa tiga tahun itu lalu mengelusnya dengan lembut.

"Sayangnya kakak ke Gunay, dua kali lipat dari sayangnya Gunay ke kakak," balasnya sambil tersenyum.

"Udahh, di lepasin dong, ini gimana kakak ngerjainnya?"

Gunay yang menyadari kakaknya mulai merasa sesak karena pelukannya, pun melepaskan tangannya lalu beranjak ke tempat tidurnya.

"Diminum susunya," ujar Yanli mengingatkan.

"Iya, Kak."

Setelah menenggak habis susu tersebut, ia pun langsung merebahkan tubuhnya lagi dan tidur dengan damai.

Gunay memang terbiasa manja seperti ini pada kakaknya. Terlebih setelah bunda mereka meninggal dunia dua belas tahun yang lalu dikarenakan mengidap penyakit leukimia yang sudah stadium akhir.

Saat bunda mereka masih hidup dulu, bundanya itu senantiasa memanjakan dirinya setiap waktu. Sehingga saat ia sudah tiada, Gunay benar-benar merasa kehilangan dan sempat menjadi pendiam dalam beberapa lama.

Kakaknya yang menyadari betapa merasa kehilangan adiknya itu, dia pun mencoba menjadi sosok bunda sekaligus kakak bagi Gunay. Melakukan segala hal yang biasa bundanya lakukan. Mengucapkan setiap perkataan yang biasa bundanya ucapkan. Demi terus bisa melihat senyum cerah dari adik tersayangnya itu dan melupakan segala kesedihannya.

Setelah kurang lebih satu jam berkutat pada buku-buku Gunay, Yanli pun segera membereskan semuanya sekaligus menyiapkan roster pelajaran Gunay untuk besok.

Merasa semuanya sudah beres, dia kemudian berjalan mendekat ke tempat tidur Gunay, memandangi adiknya yang sudah tertidur itu beberapa saat, lalu beralih ke nampan dan gelas kosong yang tergeletak di atas meja. Dia mengambilnya lalu berjalan keluar kamar dan menutup pintu dengan perlahan.

#Day10

Gunay and His Broken Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang