Seluruh penghuni kelas menatapnya dalam keheningan. Mencoba mendengarkan dengan seksama apa yang akan dia sampaikan sebagai bentuk rasa hormat. Terkecuali dua mahkluk astral di sudut sana, Gunay dan Dimas. Mereka malah asik sendiri saling cubit-cubitan tak menyadari bahwa mereka kini kedatangan orang baru.
Gadis itu kemudian melanjutkan lagi sambil melontarkan senyum simpul.
"Kalian bisa memanggil saya Mingyan."
Setelah itu, dia pun diam cukup lama.
"Hanya itu, Mingyan?" tanya Bu Dian.
"Ya, Bu," jawabnya lembut.
"Baik, kamu boleh duduk, eh tapi, apa masih ada kursi kosong yang tersisa?"
Semua murid diam, lalu serentak memandang ke arah Mirza yang duduk di sudut lain secara bersamaan.
"Oh? Mirza, ibu penasaran, kenapa kamu selalu duduk sendirian? Kelas sepuluh juga, kenapa?"
"Saya lebih suka sendiri, Bu," jawab Mirza datar.
"Begitu, apa kamu keberatan kalau Mingyan duduk di sebelahmu? Soalnya di kelas ini tak ada kursi yang kosong lagi."
Mirza diam, bulu matanya tampak turun. Kelihatan tak ingin menjawab.
"Ibu anggap itu persetujuan, nah Mingyan, ayok duduk sana."
"Baik, Bu, terima kasih."
Mingyan pun berjalan dan mendekat ke arah Mirza, kemudian duduk di sebelahnya.
Mingyan tampak menatap lelaki di sebelahnya ini lekat, memperhatikannya. Namun Mirza tak sedikitpun peduli, dia tetap menatap lurus ke depan, mendengarkan pengarahan dari wali kelas baru mereka.
Melihat betapa dinginnya orang di sampingnya ini, Mingyan mendengus, memutar bola matanya. Lantas membatin, Lo pikir gue bakal jatuh cinta sama lo kayak di novel-novel gitu? Cih, cowo kaya lo bukan tipe gue sorry.
.
.
.
Saat jam istirahat, Gunay dan komplotannya sedang asik membahas banyak hal yang tak berfaedah. Ia duduk di atas meja milik temannya yang berada di dekat dinding sambil mengangkat sebelah kaki ke atas.
"Eh, gue mau nanya dong, kalau kantor departemen berantem, apa namanya bakal berubah jadi kantor deparmusuh?"
Dimas yang mendengar itu hanya tersenyum sambil mengacungkan jari tengahnya ke arah Gunay.
Sahrul yang sangat bodoh, malah meladeni ucapan bodoh itu,"Kalo menurut lord Gunay begitu, gue sih yakin."
Panggilan lord itu benar-benar menaikkan tingkat kesombongan Gunay. Walau sebenarnya dia tidak tahu artinya, dia hanya sering melihat istilah itu di game-game yang sering dia mainkan. Dan panggilan itu biasanya ditujukan pada seseorang yang dianggap hebat dan dihormati.
Saat menikmati kesombongannya, tiba-tiba seekor cicak melintas dari belakang kepala Gunay. Menyadari hal itu, Gunay pun menakut-nakuti cicak malang itu sehingga ia pun memutuskan ekornya.
Ekor yang putus itu tepat jatuh ke atas meja. Gunay mengambilnya dengan tangan dan mengangkat ekor yang menggeliat-geliat itu tinggi-tinggi. Terlihat senang seolah mendapatkan mainan baru.
Dimas yang melihat itu hanya bisa menepuk dahi. Lelah dengan kelakuan sahabatnya itu.
Gunay pun membawa ekor cicak itu dan mendekati Kanselir dengan niat yang tidak baik.
Teman semeja Kanselir, Yumna, sedang pergi membeli jajanan di kantin. Jadinya tempat duduknya yang kosong itu segera diisi oleh pantat Gunay sembari menyodorkan ekor menyedihkan itu tepat ke depan wajah Kanselir.
Gadis cantik itu sedari tadi masih damai memainkan ponselnya sebelum bocah bandel itu mulai mengusik ketenangannya lagi.
Ia hanya menatap datar ekor yang menggeliat-geliat itu, kemudian menatap orang tak berperikehewanan di sebelahnya.
"Gak takut? Hiyy~ liat, tuh, geli, nggak? Geli, nggak?"
Dia terus mengoceh sambil makin mendekatkan ekor itu ke wajah Kanselir. Mencoba menakut-nakuti. Padahal orang yang ia takut-takuti bukannya takut malah makin merasa jengkel.
Merasa tak tahan lagi, Kanselir kemudian meraih ekor yang masih menggantung di tangan Gunay itu dan malah meletakkannya di atas kepala Gunay.
Seketika Gunay terlonjak kaget dan merasa geli. "Wahhh!!!" Ia langsung berdiri dan menyapu-nyapu rambutnya.
Teman-temannya menertawakannya, sedangkan Kanselir melanjutkan kegiatannya sebelumnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya dia sudah mulai tahu cara untuk membalas keusilan Gunay.
Tanpa mereka sadari, ada dua orang di sudut yang lain di kelas yang sedang menatap kegiatan mereka itu.
Satu di antaranya, sedang menatap si tokoh utama yang sedang sengsara sambil tersenyum-senyum, sedangkan satunya lagi, tampaknya sedang memperhatikan yang lain dari kerumunan itu. Menatapnya dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Entah itu adalah rasa iri, atau mungkin rasa penuh permusuhan.
Satu orang di antaranya adalah si murid baru, Mingyan. Tampaknya dia sangat tertarik dengan mereka. Tidak, sepertinya dia tidak tertarik dengan mereka semua. Pandangannya sedari tadi hanya menatap ke satu orang, pemimpin dari kelompok itu, Gunay.
Satu orang lainnya adalah orang di sebelah Mingyan, Mirza. Fokusnya pada seseorang di antara kelompok itu teralihkan saat ia menyadari Mingyan menangkap basah dirinya. Dia pun mengalihkan pandangannya lagi lalu membenamkan wajahnya di antara kedua tangannya.
Mingyan menatapnya cukup lama, lalu ia berbicara ke arah lelaki itu.
"Boleh gue nanya?"
Mirza tak menjawab, seolah tak mendengar pertanyaan gadis itu barusan.
"Gue tau siapa yang lo liatin dari tadi."
Kali ini Mirza benar-benar tak bisa lagi berpura-pura tak mendengarkan. Lantas ia mendongak menatap Mingyan.
"Maksud lo?""Yah, gue tau siapa yang lo liat. hmph! Gue benar-benar gak nyangka teman semeja gue ternyata—"
"Apa mau lo?!" Entah apa yang akan Mingyan katakan tentangnya, dia langsung memotong ucapan Mingyan itu.
"Gue gak minta apa-apa, tadi kan lo dengar kalo gue cuma mau nanya sama lo."
"Apa?"
"Cowo yang di sana, yang paling tinggi dan paling banyak ngomong tadi, namanya siapa?" tanya Mingyan sambil mengarahkan matanya ke arah yang dimaksud.
"Gunay," jawab Mirza malas.
Mendengar itu, Mingyan hanya tersenyum malu sambil ber-oh ria. Lalu melirik ke arah Gunay lagi.
Pantes gemesin, namanya aja lucu, apalagi orangnya, batin Mingyan.
Melihat perubahan sikap Mingyan, Mirza tak peduli, ia pun kembali membenamkan wajahnya di atas mejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gunay and His Broken Life [END]
Teen FictionHidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dar...