Tugas penelitian itu benar-benar menjadi kacau berantakan. Pak Agus sendiri juga sangat tak menyangka hal seperti gempa tiba-tiba atau terjebaknya seorang murid di dalam gua akan terjadi.
Dia pun mengantarkan para murid-muridnya langsung ke rumah masing-masing. Meminta maaf pada orang tua bagi murid yang dirugikan dalam kegiatan ini, karena merasa bersalah tak bisa menjadi guru sekaligus wali yang baik.
Semua murid sudah sampai ke rumah mereka dengan aman, dan Sahrul adalah orang yang terakhir diantarkan, tak lain karena rumahnya-lah yang paling jauh dari sekolah. Ditambah, itu adalah keinginannya sendiri karena katanya ia tak ingin yang lain mengetahui alamat rumahnya. Terdengar seperti alasan yang kekanakan memang.
Pak Agus melangkah masuk bersama Sahrul ke dalam rumah mewah bertingkat tiga di hadapannya. Pagar besar bercat hitam itu terbuka secara otomatis menampilkan beberapa penjaga berjas hitam yang tampak aneh. Tubuh mereka berotot dan tatapan mereka mengintimidasi.
Pak Agus melirik ke arah Sahrul yang terlihat tak peduli dan justru mempercepat langkahnya masuk ke dalam rumah.
Sahrul mempersilahkan Pak Agus duduk di sofa sedangkan ia lanjut melangkah dan tampak berbicara dengan seseorang di lantai atas.
Seorang laki-laki muda nan tampan akhirnya turun dengan langkahnya yang elegan, senyumnya menawan dan penampilannya yang begitu mengesankan.
Senyumnya masih terus terukir hingga ia duduk dan membuka suaranya, "Saya Addly, abang kandungnya Sahrul, ada apa ya, Pak?"
Pak Agus tak langsung menjawab, masih terpana dengan keanggunan orang di hadapannya. Setelah beberapa saat barulah ia berkata, "Oh, begini, pasti Anda sudah melihat keadaan adik Anda yang tak cukup baik, kan? Jadi, saya ingin meminta maaf untuk hal itu, karena kurangnya penjagaan dari saya, adik Anda tak sengaja terjebak di sebuah gua dan harus mengalami beberapa hal yang tak mengenakkan, saya benar-benar minta maaf untuk itu."
Addly tersenyum sambil menghela napasnya.
"Sahrul adalah laki-laki, bukan hal yang tak biasa anak laki-laki seusianya melakukan berbagai hal yang membuat mereka berujung terluka atau semacamnya."
Pak Agus, "...."
Addly melanjutkan ucapannya lagi, "Saat saya seusianya, saya bahkan pernah menerobos masuk ke kandang harimau ketika melakukan perjalanan wisata dan nyaris tak bisa keluar."
Pak Agus, "...."
"Bapak tak usah merasa bersalah begitu, oh? Saya belum menawarkan bapak minuman ya, tungg—"
Addly ingin berbalik memanggil pelayan rumahnya ketika Pak Agus memotong ucapannya dan langsung beranjak berdiri.
"Eh tak perlu repot-repot, saya juga ingin kembali, hari juga sudah larut, terima kasih atas pengertiannya, saya pamit dulu."
Tingkah orang-orang di rumah ini sangat aneh, dan hal itu membuat Pak Agus bergidik ngeri. Ia ingin sesegera mungkin pergi dari tempat ini.
Addly turut berdiri dan mengantarkan Pak Agus hingga gerbang.
Setelah memastikan Pak Agus benar-benar menjauh dari kediaman rumahnya, Addly langsung melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamar Sahrul.
"Arul!!"
Panggilan yang disertai ketukan pintu yang kuat itu sedikit mengagetkan orang di dalam kamar.
Pintu kamar pun dibuka perlahan menampilkan Sahrul yang rambutnya masih basah dan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya.
"Apa?"
"Kenapa kamu biarin orang lain tahu rumah kita?!" tanya Addly pada adiknya itu dengan tatapan yang tajam.
"Dia maksa buat dateng," jawab Sahrul malas sambil menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk lain.
"Kenapa kamu gak cegah?! Gimana kalau bapak itu curiga sama kediaman kita trus ngasih tau ke orang-orang?! Kalau sampai ada yang tau kita ini mantan keluarga mafia, kamu pasti tau kan yang bakalan terjadi?"
Tangan Sahrul yang berada di atas kepalanya perlahan turun, ia turut menundukkan wajahnya.
"Kamu mau orang-orang ngungkit yang terjadi sama ayah di masa lalu? Kamu mau keluarga kita jadi sorotan media lagi? Abang selama ini udah berusaha nutupin, itu semua buat kebaikan kita juga!"
"Arul tau! Iya! Ini semua memang salah si tua bangka itu! Dia yang berbuat dosa tapi kita yang nanggung! Siapa suruh dia jadi mafia dan bunuhin orang seenaknya?! Dia pasti udah membusuk di neraka! Hmph!"
"Arul!! Gimana pun juga, dia itu ayah kandung kita, dia begitu kan demi kita juga! Kamu gak inget dia meninggal karena apa? Itukan gara-gara kamu juga bocah tolol!!"
Pelototan terakhir Addly seketika membuat darah di seluruh tubuh Sahrul berdesir.
"Abang masih nyalahin Arul soal itu?! Itukan karena kebodohan dia sendiri! Punya anak buah gak becus!"
"Memangnya siapa yang membuat Ayah ngebunuh orang terakhir kali?! Kan kamu!! Gara-gara kamu ngadu ke Ayah bilang kalo guru SMP kamu mukulin kamu!! jadinya Ayah ... Ayah ...."
Addly tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya, ia berbalik dan pergi sambil mendengus kasar. Sahrul masih berdiri mematung di pintu kamarnya, memandang punggung abangnya yang menghilang dibalik tangga.
Sahrul menutup pintu kamarnya, lalu terduduk di pinggiran tempat tidurnya meremas kuat rambutnya dan mendesah pelan. Pandangannya kosong.
Dia sadar, benar-benar sadar, itu memang penuh adalah kesalahannya. Ayahnya yang ditangkap polisi dan berakhir dihukum mati, bundanya yang depresi karena tertekan dengan cemoohan orang-orang justru berakhir di rumah sakit jiwa, itu ... itu semua adalah kesalahannya!!
Sewaktu kelas satu SMP dulu, Sahrul pernah mengadu ke ayahnya bahwa gurunya memukuli dia, ayahnya yang bertemperamen buruk itu langsung memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menghabisi guru tersebut, namun naas, niatan pembunuhan itu berakhir membuat anak-anak buahnya tertangkap dan turut serta menyeret ayah Sahrul ke kantor polisi.
Setelah diselidiki lebih lanjut, para polisi pun menemukan fakta bahwa ayah Sahrul adalah seorang mafia yang sudah membunuh orang beberapa kali, ditambah bisnis ilegal yang ia jalankan membuat dia berujung dihukum mati.
Orang-orang terus mencemooh keluarga mereka. Para tetangga, media massa, bahkan orang terdekat mereka kerapkali melontarkan ucapan pedas pada keluarga itu. Bunda Sahrul yang tak tahan akhirnya depresi dan menjadi gila.
Addly yang saat itu baru saja tamat SMA dipaksa berpikir dewasa dan menanggung beban keluarga mereka sendirian.
Bersama beberapa orang pelayan setia ayahnya yang tersisa, ia pergi keluar kota membawa bundanya dan adiknya untuk pindah. Membeli rumah baru yang lebih dari layak untuk tempat mereka bernaung. Kebetulan uang tabungan yang ayahnya tinggalkan lebih dari cukup untuk menanggung kehidupan mereka dalam waktu yang lama.
Kondisi Bundanya semakin hari semakin parah, membuat Addly akhirnya memutuskan memasukkan bundanya ke rumah sakit jiwa dan mengunjunginya sesekali. Berharap wanita itu akan mendapatkan perawatan yang lebih layak di sana.
Beberapa tahun berlalu, Addly adalah pemuda yang pintar dan pekerja keras. Kini ia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan besar dan menjadi tulang punggung keluarganya. Padahal uang yang ayahnya tinggalkan cukup banyak untuk dia mendirikan perusahaannya sendiri, namun tetap saja, ia menyimpan uang haram ayahnya itu dan menggunakan jika hanya terdesak saja, lalu kemudian memohon ampun pada Allah setelah merasa berdosa menggunakannya.
Saat ini, di rumah besar itu, hanya tinggal Addly, Sahrul dan beberapa pelayan kepercayaan Addly. Benar-benar rumah yang sunyi dan penuh kehampaan.
Drrrt drrt
Getar ponsel seketika membuyarkan lamunan Addly yang sedang termenung di meja kerjanya.
"Assalamu'alaikum."
Suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang.
Seketika mata Addly membulat lebar, dia mengenali suara itu. Dia melirik layar ponselnya, memastikan tebakannya.
Ternyata benar, tulisan di layar ponsel itu adalah 'Yanli'. Wanita lembut yang sudah berhasil mencuri hatinya beberapa bulan yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gunay and His Broken Life [END]
Teen FictionHidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dar...