7.

0 0 0
                                    

"Ra, lo nyaman jalan bareng Ana?"

"Lah emang napa?"

"Ana itu pergaulannya bebas. Gua takut lo ikut ikutan, Ra"

"Vi, lo ada buat gua. Kalo gua udah ikutan, lo tegur gua, kasar pun gapapa. Gua terima kalo itu emang yang terbaik buat gua. Okay?"

Mereka pun tersenyum.

***

"Good morning, Ra. Lo udah bikin PR belom?"

"Morning too, Na. Belom. Gua rencana mau nyontek ama lo"

"Gua juga belom ngerjain"

   Seorang lelaki tinggi yang terlalu putih terlihat menapakkan kakinya di kelas. Laki laki kurus itu menatap Dira dan Ana sekilas, lalu duduk di bangku belakang Dira dan Ana. Sebut saja namanya Bian.

*flashback*
   Awal menjadi siswa kelas X MiPA 4, Bian dan Ana berebut kursi. Ana yang harusnya duduk paling belakang harus duduk di nomor 2 dari belakang karena saat itu Bian tidak menaati peraturan sekolah alias dasi Bian yang tertinggal dirumah. Bian saat itu memohon dengan sangat agar Dira dan Ana mau duduk di bangku nomor 2—sebelumnya Bian duduk paling depan—dari belakang. Melihat perjuangan dan kecemasan Bian, Ana akhirnya menyerahkan tempat duduk tercintanya tersebut pada Bian.
*

"Bi, lo udah bikin PR?" tanya Ana.

"Ga lah. Ga mungkin gua bikin PR dirumah" jawab Bian dengan entengnya.

"Lo mah sekarang aja nyantai kaya gitu. Ntar gurunya udah masuk, kelintang kelanting lah tu ngerjainnya"

"Itu namanya 'the power of kepepet'."

   Ana memutar bola matanya, ia menyerah. Beradu mulut dengan Bian hanya akan membuatnya lelah. Sekarang lebih baik ia mencari contekan.

   Hingga bel masuk berbunyi, Ana kesal dan hampir mengumpat.

***

   Seperti biasa, sepulang sekolah Dira selalu mencuci wajahnya dan terkadang mandi jika badannya terlalu bau. Namun karna sekarang sedang musim hujan, jadi tidak terlalu berkeringat, Dira memutuskan untuk tidak mandi, dingin pun menjadi alasannya.
Jorok memang.

   Dira turun ke bawah, lantai satu rumahnya itu dijadikan warung kopi tempat ibundanya berjualan. Jujur, jika saja ayahnya tidak menghambur hamburkan uangnya untuk ketidakpentingan lain, bunda Dira tidak perlu bekerja. Karna menghasilkan uang yang banyak adalah hal mudah bagi ayahnya Dira.

   Maklum, ayah Dira adalah pemilik bengkel mobil yang sudah lama beroperasi. Dan ayahnya juga pintar, Orang orang yang pernah memperbaiki mobil di bengkel ayah Dira umumnya balik ke ayah Dira lagi jika mobilnya rusak kembali. Alasannya hanya satu : selain harganya murah, ayah Dira juga cekatan. Ia tau bagaimana dan dimana letak kerusakkannya hanya sebentar, lalu memperbaiki, dan memastikan mobil itu tidak rusak lagi pada tempat yang sama, kecuali memang sudah saatnya, seperti mengganti mesin.

   Dira melihat banyak orang di warung. Sekedar informasi, warung ibunda Dira adalah tempat berkumpulnya para gocar, sehingga warung Dira tampak ramai dari luar karena mobil yang berserakan di perkarangan rumah.
 
   Hingga maghrib tiba, Dira membantu bundanya menutup warung. Memasukkan meja, minuman yang tergantung, serta menutup rolling rumah.

"Makan ya, bunda suapin" ucap sang bunda ketika Dira hendak melangkah menaiki tangga.

"Boleh" jawab Dira.

***

   Dira ituu...

MANJA. Sangat manja. Dira akan cepat tertidur jika disamping bundanya. Gaya favorite Dira ketika tidur disamping bundanya adalah mengelus elus lengan atas bundanya. Tujuannya mencari area dingin di lengan bundanya lalu mencubitnya pelan. Entah dari siapa dan belajar darimana ia dapatkan gaya itu.

Juga, Dira tak bisa jauh dari bundanya. Jauh saja dari bundanya, ia akan menangis, dan berujung sakit. Pernah suatu hari, bundanya pulang kampung karna ada saudara bundanya yang meninggal dunia. Lama perjalanan dari kampung ke rumah Dira 5 jam. Saat ditinggalkan bundanya, ia menangis deras. Dan sorenya, ia muntah muntah, lalu demam. Begitu selalu.

Bagi Dira, ia harus melihat bundanya ketika ia bangun tidur, dan ketika ia akan tidur. Karna jika ia tak melihat bundanya pada dua waktu itu, ia akan muntah muntah dan berujung demam.

  

am i late ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang