12.

0 0 0
                                    

"Good morning, Indira Daul Almi" sapa ceria Ana di senin pagi.

"Morning too, Ana Ajifah" balas Dira dengan semangat 0%.

Lalu, datang lagi Bian.

"Good morning, Ahmad Bian" sapa ceria Ana lagi.

"Ya" jawab singkat Bian juga dengan semangat 0%

"Kalian kenapa si? Lagi berantem ya berdua?" tanya Ana setelah melihat mereka berdua seperti kehilangan rumah.

Bian dan Dira saling bertatapan. Lalu sama sama melipat tangan diatas meja dan menyandarkan kepala untuk tertidur sejenak.

"Oi kalo gua ngomong, dengerin, jawab!" kesal Ana sambil memukul mukul meja hingga menimbulkan bunyi yang berisik.

Dira yang merasakan gangguan segera mengangkat kepalanya. "Na, lo galiat apa, sekarang hari senin?"

"Ga. Hari mana bisa diliat" tukas Ana.

"Emang kenapa si sama senen?" sambungnya.

"Kita upacara, bego!" Bian akhirnya angkat bicara.

"Oiya gua lupa" kata Ana. Ia yang semula ceria, tiba tiba murung, lalu dengan gaya yang sama, Ana menirukan Dira. Ia meletakkan kepalanya di lipatan tangan di atas meja.

"Gua capek upacara" ucap Dira masih sambil menyandarkan kepalanya.
"Gua juga" kata Ana
"Iya sama. Gua juga" Bian menyambung dengan suara lelahnya.

Ketiganya pun saling menghela nafas.

Namun akhirnya, mereka tetap mengikuti upacara, dengan malas malasan tentunya.

Ketika para siswa istirahat ditempat—tangan di belakang—mereka benar benar istirahat, alias, DUDUK.

Setelah upacara selesai, mereka tetap mengeluh, karna harus menaiki tangga yang super banyak itu.

Tiba di kelas, bahagia mereka bangkit. Awalnya mendung, sekarang cerah, ditambah dengan Dana yang membeli banyak makanan dari kantin hasil titipan Bian, Ana, dan Dira.

"Buat gua, mana?" tanya Dira pada Dana yang sedari tadi tidak memberikan wafer titipannya.

"Sabar dulu dong" jawab Dana sembari mengelus pelan kepala Dira.

Ya, Dana memang lembut pada Dira. Ia akan memberikan apapun untuk Dira, tapi tidak untuk Ana. Padahal, diantara mereka berempat, Ana-lah yang paling muda.

Mungkin karna sikap Ana lebih dewasa dari Dira. Sedangkan Dira, masih kekanak kanakan.

Saat sedang asyik mengudap cemilan mereka, tiba tiba Larissa, sang bendahara II kelas tiba ke meja mereka. Larissa menagih iuran mingguan, tanpa sepengetahuan Ana, padahal, Ana-lah si bendahara I.

"Kok lo yang nagih iuran?" tanya heran Ana.

"Ya kan gua bendahara" jawab enteng Larissa.

"Tapi kan bendahara II. Harusnya gua dong yang nagih iuran mingguan" kata Ana.

"Yaudah, nih, buku, tagih sono!" ucap Larissa menahan amarah.

"Ga. Gua ga masalahin itu. Gua bendahara utama, ya harusnya lo hargain gua dong. Ga ngambil keputusan kaya gini" amarah Ana.

Bian, Dana, dan Dira diam menyaksikan pertikaian mereka.

"Udah, Ana. Ngalah aja deh" ucap Dira pada akhirnya.

Ana menatap Dira, lalu kembali duduk dan berkata "Yaudah, lo tagih, gih"

Bian, Dana, dan Dira tersenyum. Tersirat kata 'pinter, Ana' dalam senyum mereka.

Larissa juga tak diam. Ia berjalan ke bangkunya yang berada di barisan dua dari depan dan menghempaskan bukunya dengan keras diatas meja. Ia kesal, tentu saja.

Namun Ana tak hiraukan itu. Ia tetap makan. "buat apa ngeladenin orang gila" lirihnya.

am i late ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang