20.

0 0 0
                                    

Beberapa bulan sudah berlalu. Dira pun sudah terbiasa dengan moodyan Ana, ataupun sikap jutek Bian yang kadang suka muncul, juga candaan Dana yang terkadang agak kasar dan tidak baik untuk didengar. Bukan berarti Dira tidak memiliki kekurangan. Dira juga sering bersikap egois. Perbedaan kekurangan itulah yang membuat persahabatan mereka semakin erat setiap harinya, dengan harapan persahabatan ini akan terjalin sampai mereka tua nanti, dan tidak ada yang menaruh hati. Karena perasaan pribadi bisa merusak persahabatan. 

"Hari ini ulangan kimia. Lo belajar ga?" Ana bertanya di sela sela suara mbak mbak kantin ditambah beberapa murid yang memesan makanan.

Sekarang, mereka berempat ada di kantin. Padahal, jam istirahat masih 30 menit lagi. Gaada tuh orang yang mati kebodohan, kalo mati kelaparan, ada. Begitulah prinsip mereka berempat. 

"Engga, lah" jawab Dana.

"Gua juga engga" Dira sambil mengambil gelas minuman di sebelah Ana.

"Elo mah, belajar ga belajar sama aja. Paling juga ntar lo kejawab semua" celetuk Bian.

"Makanya gua ga pusing amat mikirin ulangan nanti. Kan ada Dira" tukas Ana sambil mengedipkan mata manja pada Dira yang berdecak geli.

"Geli, anjeng" barbar Dira.

Mereka pun tertawa berempat.

Selepas makan, mereka kembali ke kelas. Bian dan Dana lekas masuk saat pintu kelas terbuka + guru sedang sibuk mengajar dengan membelakangi pintu kelas. Mula mula, Bian dan Dana duduk di bangku depan yang kosong. Hanya satu yang kosong, sehingga hanya Bian yang duduk, sementara Dana bersembunyi dibalik kursi yang Bian duduki. Lalu mereka melanjutkan langkah hingga sampai di kursi mereka, secara bergantian tentunya agar tidak ketahuan.

Sementara Ana dan Dira menunggu diluar. Bukan Bian dan Dana yang tidak gentle, karna mendahulukan dirinya dari wanita, melainkan keinginan Ana dan Dira yang betah lama lama diluar. 

"Silahkan kumpulkan latihannya, biar ibuk cek" ucap bu guru yang mengajar. 

Ketika anak anak berbondong bondong ke meja guru, itulah kesempatan Ana dan Dira masuk.

Namun tiba tiba,

"Tolong ditutup pintu kelasnya ya, Nanda" ucap sang guru mengagetkan Ana dan Dira yang sedikit lagi berhasil meraih pintu kelas berwarna cokelat itu.

Sambil masih berjongkok, mereka saling melirik. Mereka memikirkan strategi agar berhasil masuk kelas dengan aman damai. Kalau mereka membuka pintu, pasti akan berbunyi, dan berujung ketahuan.

Dira melihat sekitar, lalu perhatiannya terhenti pada sebuah jendela kelas yang terbuka. Ide barbar pun keluar dari benaknya.

"Udah, kita manjat aja lewat jendela" bisik pelan Dira pada Ana.

"Gua gabisa manjat" keluh Ana.

"Ntar gua bantuin"

Dira melihat situasi, terlihat beberapa siswa masih di meja guru, sehingga aksi Ana dan Dira bisa dilanjutkan tanpa ketahuan. 

Dira menuntun Ana memanjat, ditolong oleh Dana dari dalam kelas. Ana terlihat seperti tuan putri yang tidak pernah memanjat pohon sewaktu kecil. Lama sekali hingga Ana berhasil masuk ke kelas. Masuknya gampang, nyangkutnya yang banyak.

Giliran Dira memanjat. Hanya butuh waktu kurang dari satu menit Dira sudah berhasil masuk ke kelas. Maklum, waktu kecil Dira suka ikut kakaknya memanjat pohon di sebelah rumah. Jadi ia sudah terbiasa.

"Anjir, kaya monyet aja lo. Tinggal dikasih bulu dikit" celetuk Bian.

"Abis itu dikasih pisang" sambung Dana.

Dira pun melayangkan tatapan tajam pada dua cowok yang sedang terbahak bahak itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

am i late ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang